Report / Asia 2 minutes

Aceh: Perdamaian Yang Rapuh

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN EKSEKUTIF

Pada tanggal 9 Desember 2002, sebuah perjanjian penghentian permusuhan di Aceh dirampungkan di Jenewa, seraya membawa harapan munculnya akhir dari pertikaian selama 26 tahun antara pasukan pemerintah Indonesia dan para gerilya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Sejak itu telah terjadi banyak perkembangan yang positif, dan yang paling menonjol, penurunan drastis tingkat kekerasan. 

Namun demikian, perjanjian perdamaian tersebut bukan merupakan penyelesaian bagi perdamaian, melainkan lebih merupakan kerangka kerja untuk melakukan negosiasi menuju penyelesaian konflik, dan hal ini masih sangat rapuh. Dua bulan pertama beranjaknya kesepakatan tersebut seharusnya merupakan tahapan membangun kepercayaan, namun bukannya kepercayaan yang dibangun, justru kecurigaan masing-masing pihak terhadap maksud lawannya di jangka panjang semakin menguat.

Pada tanggal 9 Februari 2003, kedua belah pihak memasuki tahap pelaksanaan selama lima bulan, namun dengan beberapa perselisihan utama belum terselesaikan. Hal ini termasuk bagaimana pihak militer Indonesia akan melakukan relokasi seiring dengan penempatan jumlah senjata yang kian meningkat di berbagai lokasi tertentu oleh GAM. Pemimpin GAM mungkin telah menerima konsep otonomi sebagai titik awal pembicaraan namun bukan sebagai tjuan akhir politik, selain itu kelompok gerilya tetap tidak banyak tergugah untuk mengubah diri menjadi partai politik yang menjadi bagian dari sistim elektoral di Indonesia  

Kecil kemungkinannya tentara Indonesia bakal berdiam diri untuk waktu yang tidak pasti jika meredanya kekerasan justru menimbulkan lebih banyak lagi kegiatan organisasi menuju kemerdekaan, seperti yang tampaknya tengah terjadi, apakah kegiatan tersebut secara formal melanggar perjanjian atau tidak. Pemerintah propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) pun menjadi penghalang menuju perdamaian yang kekal, karena kredibilitasnya yang sangat rendah, selain secara luas dipandang korup. Selama pemerintahan tersebut dilihat sebagai  wujud “otonomi” sebagaimana  yang diberikan kepada Aceh sesuai undang-undang Agustus 2001, maka banyak orang Aceh tetap melihat kemerdekaan sebagai alternatif yang lebih baik. 

Perjanjian 9 Desember 2002 yang ditengahi oleh sebuah organisasi non pemerintah berkedudukan di Jenewa, yaitu Henri Dunant Centre (HDC), merupakan hasil dari proses negosiasi yang alot selama tiga tahun, serta berbagai upaya berselang untuk mengakhiri kekerasan yang berhasil untuk waktu yang singkat, namun kemudian runtuh. 

Perjanjian ini berbeda dengan yang sebelumnya. Ada pemantau mancanegara. Struktur bagi penyelidikan dan pelaporan pelanggaran yang dimilikinya sudah jauh lebih transparan daripada perjanjian-perjanjian sebelumnya. Selain itu didukung oleh jajaran tertinggi pemerintahan Indonesia serta oleh serangkaian luas donatur internasional. Perjanjian ini merupakan kesempatan yang terbaik – dan mungkin yang terakhir – bagi 4,4 juta rakyat Aceh untuk mencapai perdamaian melalui perundingan. Ini mungkin juga menjadi kesempatan terakhir memperoleh dukungan internasional untuk melakukan reformasi pada pemerintahan setempat serta mendapatkan bantuan rekonstruksi pasca-perang yang cukup besar. Jika perjanjian dapat bertahan, tidak semua pihak menang, namun jika gagal, maka semua pihak kalah. 

Konsekuensi kegagalan bakal suram dan operasi militer yang ditingkatkan sudah hampir pasti terjadi. Luapan semangat yang ditimbulkan perjanjian tersebut diseluruh Aceh seharusnya menjadi cukup alasan bagi semua pihak agar berupaya semaksimal mungkin untuk menjamin keberhasilannya.

Jakarta/Brussels, 27 Februari 2003

Executive Summary

On 9 December 2002, an agreement on cessation of hostilities in Aceh was concluded in Geneva, bringing hope that an end to the 26-year-old conflict between Indonesian government forces and guerrillas of the pro-independence Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka or GAM) was in sight. Since then there have been many positive developments, most strikingly, a dramatic drop in the level of violence.

The agreement, however, is not a peace settlement. It is rather a framework for negotiating a resolution of the conflict, and it remains extremely fragile. The first two months were supposed to be the confidence-building phase of the accord, but far from generating confidence, they may have actually reinforced each side’s wariness of the other’s long-term intentions.

On 9 February 2003, the two sides moved into a five-month implementation phase with major differences unresolved. These include how the Indonesian military will relocate as GAM places an increasing percentage of its weapons in designated locations. The leadership of GAM may have accepted the concept of autonomy as a starting point for discussions but not as a political end, and there remains little incentive for the guerrilla group to reinvent itself as a political party working within the Indonesian electoral system.

The Indonesian army is not likely to sit quietly indefinitely if the reduction of violence leads, as appears to be the case, to more organising in support of independence, whether or not that organising constitutes a formal violation of the agreement. The provincial government of Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) also constitutes an obstacle to lasting peace because it has such low credibility and is so widely seen as corrupt. As long as it is seen to embody “autonomy”, as granted to Aceh under an August 2001 law, many Acehnese will continue to see independence as a desirable alternative.

The 9 December 2002 agreement, brokered by the Geneva-based non-governmental organisation, the Henri Dunant Centre (HDC), was the outcome of three years of tortuous negotiations and interim efforts to end the violence that worked briefly and then collapsed.

This agreement is different from all those that preceded it. It has international monitors in place. Its structure for investigation and reporting of violations is already far more transparent than those in the previous accords. It is backed at the highest levels of the Indonesian government and by a broad range of international donors. It is the best – and maybe the last – chance that the 4.4 million people of Aceh have for a negotiated peace. It may also be their best chance to get international backing for local government reform and substantial post-conflict reconstruction aid. If the agreement holds, not everyone wins, but if it fails, everyone loses.

The consequences of failure would be grim, and intensified military operations would be all but inevitable. The outpouring of enthusiasm that the agreement has generated across Aceh should be reason enough to for all parties involved to do their utmost to ensure its success.

Jakarta/Brussels, 27 February 2003

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.