Briefing / Asia 2 minutes

Aceh: So Far, So Good

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISAR

Proses perdamaian di Aceh sejauh ini telah berjalan dengan sangat baik melebihi harapan dan perkiraan semula. Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menyerahkan sejumlah senjata mereka sesuai perjanjian. Tentara Nasional Indonesia (TNI) telah menarik pasukannya sesuai jadwal. Ancaman adanya tindak kekerasan milisi tidak terwujud. Para tahanan yang telah menerima amnesti telah kembali ke rumah masing-masing dengan aman. Misi Monitoring Aceh atau Aceh Monitoring Mission (AMM) yang dipimpin oleh Peter Feith dari Uni Eropa dengan cepat dan profesional telah berhasil menyelesaikan sejumlah kecil insiden kekerasan yang terjadi antara GAM dan TNI. Sebuah undang-undang baru yang mengatur mengenai pemerintahan setempat di Aceh (memasukkan ketentuan dari perjanjian damai yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki), telah dibuat rancangannya dengan berkonsultasi dengan berbagai kelompok masyarakat Aceh dan GAM, dan telah diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Meskipun masih banyak tantangan yang harus dihadapi, namun proses perdamaian di Aceh mendapat dukungan aktif dari pejabat di tingkat yang paling tinggi dalam pemerintahan Indonesia, dan masyarakat Aceh yang tadinya meragukan proses perdamaian dapat berhasil, sedikit demi sedikit mulai berubah pandangannya.

Proses perdamaian saat ini telah memasuki tahap yang genting di dua sisi. Sisi yang pertama meliputi reintegrasi atau kembalinya para mantan anggota GAM ke tengah masyarakat. Walaupun banyak dari para mantan pasukan GAM telah kembali ke tengah masyarakat dengan kemauan sendiri, namun kebanyakan dari mereka tidak memiliki pekerjaan. Perbedaan pendapat antara pimpinan GAM dan pemerintah mengenai apakah pemberian sejumlah uang untuk memfasilitasi reintegrasi sebaiknya diberikan kepada para mantan pasukan GAM secara langsung, atau disalurkan melalui para komandan GAM, saat ini memperlambat program-program yang lebih luas untuk menciptakan mata pencaharian baru. Hal ini tampaknya juga telah menimbulkan sedikit perselisihan dalam tubuh GAM sendiri. Jika masalah ini tidak segera dicari jalan keluarnya, bahaya dalam jangka panjangnya yaitu para mantan pasukan yang bosan atau menganggur akhirnya akan berpaling ke tindak kriminal atau mencoba untuk bertempur kembali.

Sisi yang kedua yaitu proses hukum dalam memasukkan ketentuan-ketentuan yang berasal dari perjanjian tanggal 15 Agustus kedalam undang-undang yang baru, yang harus diadopsi oleh DPR. Perubahan bentuk GAM dari gerakan bersenjata menjadi gerakan politik bergantung pada undang-undang ini, khususnya ketentuan mengenai partai politik lokal dan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada). Pertanyaannya adalah apakah DPR akan menerima rancangan undang-undang tersebut tanpa revisi ataupun perubahan yang serius. Walaupun prospeknya saat ini kelihatan lebih bagus dibanding beberapa bulan yang lalu, sebuah masalah baru yang menimbulkan kekhawatiran di Aceh muncul, yaitu: apakah nantinya akan ada referensi dalam rancangan undang-undang terbaru nanti mengenai kemungkinan Aceh di masa depan dibagi menjadi lebih dari satu propinsi. Referensi semacam itu dapat merusak konsensus di Aceh atas rancangan undang-undang saat ini, dan pada akhirnya dapat mengganggu perdamaian. Tetapi bagaimanapun, sejauh ada kemauan untuk mencari suatu penyelesaian, maka akan selalu ada solusi dari setiap permasalahan.

Laporan ini mencatat prestasi kunci yang telah dicapai, setahun setelah bencana Tsunami di Samudera India memporak-porandakan Aceh dan merubah peta politik di Aceh. Laporan ini juga menyoroti beberapa kemungkinan masalah yang masih tersisa dalam jalan menuju perdamaian abadi.

Jakarta/Brussels, 13 Desember 2005

I. Overview

The Aceh peace process is working beyond all expectations. Guerrillas of the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) have turned in the required number of weapons. The Indonesian military (Tentara Nasional Indonesia, TNI) has withdrawn troops on schedule. The threat of militia violence has not materialised. Amnestied prisoners have returned home without incident. The international Aceh Monitoring Mission (AMM), led by the European Union's Peter Feith, has quickly and professionally resolved the few violent incidents between GAM and the TNI. A new law on local government in Aceh, incorporating provisions of the 15 August 2005 peace agreement signed in Helsinki, has been drafted in consultation with broad sectors of the Acehnese public and GAM, and submitted to the Indonesian parliament. While there are still challenges, the peace process has active support from the highest levels of the Indonesian government, and Acehnese who were sceptical at the outset that it could hold are slowly beginning to change their minds.

The peace process now has entered a critical stage on two fronts. The first of these involves the reintegration of former GAM members into civilian life. While many combatants have returned spontaneously to their communities, most are unemployed. Disagreement between GAM leaders and the government over whether cash payments to facilitate reintegration should be made directly to individual combatants or channelled through GAM commanders is holding up more comprehensive programs to establish new livelihoods. It also appears to be creating some friction within GAM itself. If the problem is not resolved, the danger in the long term is that bored or jobless ex-combatants will turn to crime or seek to resume fighting.

The second front is the legal process of incorporating the provisions of the 15 August agreement into a new law that must be adopted by the Indonesian parliament. The transformation of GAM from an armed movement to a political one hinges on this law, particularly its provisions on local political parties and the mechanics of local elections. The question is whether the parliament will accept the Acehnese draft without serious revisions or dilutions. While the prospects look brighter now than they did several months ago, a new issue has arisen that is causing anxiety in Aceh: whether there will be any reference in the final version to the possibility that Aceh in the future can be divided into more than one province. Such a reference could undermine the consensus in Aceh around the current draft and ultimately, the peace itself. Since wiser heads have prevailed thus far every time a potential obstacle has arisen, there is every reason to believe that a way will be found around this problem, too.

This briefing records the key achievements a year after the Indian Ocean tsunami devastated Aceh and reordered the political landscape. It also highlights some of the remaining possible bumps in the road to a lasting peace.

Jakarta/Brussels, 13 December 2005

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.