Report / Asia 4 minutes

Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan

Ketegangan yang telah lama memanas antara orang Dayak dan para pendatang asal Madura tiba-tiba meletus di kota Sampit, Kalimantan Tengah, dipertengahan bulan Februari 2001.

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISAR

Ketegangan yang telah lama memanas antara orang Dayak dan para pendatang asal Madura tiba-tiba meletus di kota Sampit, Kalimantan Tengah, dipertengahan bulan Februari 2001. Dalam beberapa hari saja, pembunuhan-pembunuhan disana-sini yang dilakukan kedua belah pihak berkembang menjadi pembantaian sepihak terhadap orang Madura oleh orang Dayak. Di minggu-minggu berikutnya pembunuhan menyebar ke daerah-daerah lain dalam propinsi itu dan hingga awal April hampir seluruh penduduk asal Madura telah meninggalkan propinsi. Pembantaian terhadap 500 orang Madura – dan mungkin lebih banyak lagi – oleh orang Dayak serta larinya hampir seluruh masyarakat asal Madura sangat mirip dengan dua peristiwa yang terjadi di kabupaten Sambas di bagian utara Kalimantan Tengah di tahun 1996-7 dan di tahun 1999, serta menitik-beratkan bahaya menyebarnya kekerasan ke Kalimantan Barat dan Timur.

Kekerasan di Kalimantan Tengah terjadi setelah beberapa dasawarsa dimana orang Dayak – yang merupakan lebih dari setengah jumlah penduduk propinsi tersebut - mengalami dislokasi. Susunan demografi propinsi telah mengalami perubahan, terutama dalam dua dasawarsa terakhir, disebabkan program transmigrasi yang dilakukan pemerintahan Soeharto serta masuknya apa yang disebut sebagai pendatang ‘spontan’ dari propinsi lain yang mencari peluang ekonomis. Masyarakat Dayak juga terganggu oleh tindakan resim Soeharto yang memberikan konsesis luas di hutan-hutan kepada perusahaan penebangan kayu, banyak yang ada hubungannya dengan anggota keluarga Soeharto, kroninya atau pihak militer, sehingga banyak orang Dayak penghuni hutan terusir dari kediaman tradisionalnya. Undang-undang yang dikeluarkan di tahun 1979 yang menetapkan struktur pemerintahan daerah yang seragam diseluruh Indonesia mengakibatkan terkikisnya kewenangan pemimpin desa tradisional serta kohesi masyarakat Dayak. Dislokasi tersebut dirundung oleh anggapan meluas di kalangan orang Dayak bahwa mereka sering diremehkan oleh masyarakat lain sebagai masyarakat yang ‘terbelakang’ dan ‘tidak berbudaya’.

Namun demikian, dislokasi yang dialami orang Dayak tidak sepenuhnya menjelaskan kekerasan yang terjadi di bulan Februari dan Maret. Kalaupun pembantaian merupakan reaksi terhadap perubahan demografis yang pesat maupun perusakan hutan, maka kemarahan orang Dayak tentunya dituju kepada semua masyarakat pendatang. Akan tetapi kekerasan yang terjadi dipusatkan seluruhnya terhadap orang Madura dan akhirnya dijadikan suatu kampanye untuk mengusir mereka dari propinsi tersebut. Jumlah masyarakat Madura tidak hanya lebih sedikit dibanding masyarakat Dayak, tetapi juga dibanding masyarakat pendatang lainnya seperti orang Jawa dan orang Banjar. Mengapa orang Madura di Kalimantan Tengah – sebagaimana juga di Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu – merupakan sasaran satu-satunya? Apa kiranya manfaat ‘pembersihan etnis’ tersebut bagi masyarakat Dayak? Kenapa masyarakat pendatang lainnya tidak diusik?

Tidak terdapat jawaban yang gamblang. Penjelasan-penjelasan yang paling umum diutarakan dalam ungkapan stereotipe. Orang Dayak seringkali memandang orang Madura sebagai orang yang sombong, eksklusif, cenderung menggunakan kekerasan, serta tidak dapat dipercaya. Dilain pihak, orang Dayak – terutama oleh pers internasional - digambarkan sebagai pemerang barbar yang hendak menghidupkan kembali tradisi kuno pemenggalan kepala musuh. Sebagaimana biasa terjadi dalam konflik etnis, tidak jelas bagaimana kekerasan bermula. Menurut versi orang Dayak, kemarahan mereka terhadap orang Madura sudah memuncak bertahun-tahun sampai serangan orang Madura terhadap orang Dayak di Sampit di Februari 18-19 memicu pembantaian spontan terhadap ratusan orang Madura. Dilain pihak, menurut orang Madura beberapa kelompok Dayak memprovokasi benturan-benturan kecil sebagai alasan untuk menjalankan pembantaian yang menysusul kemudian. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada penjelasan yang memuaskan mengenai apa yang menjadi motivasi kelompok Dayak tersebut.

Namun demikian ada satu hal yang cukup disepakati kedua belah pihak.Hampir semua pihak mencatat kegagalan pasukan keamanan untuk mencegah konflik tersebut. Polisi secara luas disalahkan atas kegagalan jaringan intelijen mereka dalam mengantisipasi kekerasan serta ketidak mampuan mereka untuk bertindak dini guna mencegah penyebaran kekerasan. Hingga saat pembantaian berkobar polisi dibuat tidak berdaya dan lebih sering berdiam diri menyaksikan orang Dayak membakar rumah orang Madura dan berpawai keliling kota Sampit sembari membawa kepala manusia. Pada saat ditugaskan menjaga para pengungsi setelah gagal mencegah pembantaian, banyak polisi yang lebih mengarahkan perhatiannya untuk meraup kesempatan memeras orang Madura yang sudah putus asa. Kerjasama dengan militer samasekali tidak berjalan lancar, bahkan dalam suatu kejadian yang mencengangkan polisi dan pasukan tentara saling berbaku tembak di pelabuhan Sampit. Namun meskipun prestasinya yang kurang baik di Sampit, paling tidak mereka dapat meminimalkan – tetapi tidak sama sekali mencegah – penyebaran kekerasan ke pusat-pusat utama lainnya termasuk Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalanbun. Tentunya tugas mereka dipermudah oleh kenyataan bahwa kebanyakan orang Madura telah melarikan diri lebih dahulu ketimbang menguji kehandalan polisi dan militer. Akan tetapi pasukan keamanan berhasil melindungi nyawa 100.000 orang pengungsi yang tengah melarikan diri.

Pemerintah serta pengadilan Indonesia kini menghadapi dilema klasik yang kerap timbul setelah terjadi konflik etnis: bagaimana menuntut akuntabilitas tanpa memperburuk ketegangan yang ada? Pada prinsipnya, penegakan hukum perlu dijunjung, serta yang bertanggung jawab atas tindakan pembunuhan, penyerangan dan pembakaran dibawa kemuka pengadilan. Kegagalan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan etnis menciptakan perasaan bebas hukum yang dapat mendorong terjadinya kekerasan baru di kemudian hari dan di tempat lain. Hal tersebut juga dapat merintangi terjadinya rekonsiliasi jangka-panjang. Akan tetapi selain kesulitan melekat dalam menemukan bukti yang cukup, penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan massa tidak hanya mengabaikan sebab-sebab mendasar dari konflik yang terjadi bahkan dapat menimbulkan persoalan baru. Para pelaku pembantaian massa pada umumnya berkeyakinan bahwa tindakan mereka beralasan dan mereka sering dianggap sebagai pahlawan dalam masyarakatnya sendiri. Sehingga penahanan mereka kemudian bukan saja menjadi rintangan bagi tercapainya rekonsiliasi akan tetapi dapat juga memicu kekerasan baru. Tujuan harus tetap diarahkan untuk menjunjung penegakan hukum, namun bukan tanpa melihat keadaan. Dalam beberapa kasus, pertanyaan telak yang tidak dapat dihindari adalah: berapa banyak jiwa yang perlu dikorbankan oleh si penegak hukum agar penegakan hukum dijunjung? Hukum memang perlu ditegakkan, namun bukan tanpa pertimbangan lain. Pada akhirnya yang berwenang perlu membuat keputusan yang peka berdasarkan kondisi setempat. Karenanya langkah-langkah hukum perlu diterapkan sejalan dengan upaya untuk memberi perhatian pada keluhan orang Dayak – yang kesemuanya secara lebih luas bertujuan untuk memperbaiki keamanan, mendorong rekonsiliasi antara masyarakat Dayak dan masyarakat Madura, serta menciptakan keadaan yang kondusif bagi kembalinya para pengungsi.

Banyak dari rekomendasi yang diberikan berikut ini secara khusus berhubungan dengan kekerasan massa di Kalimantan Tengah. Akan tetapi meskipun kasus Kalimantan Tengah mempunyai kekhasan tersendiri, beberapa aspek pengalaman propinsi tersebut menawarkan pelajaran yang relevan bagi daerah lain di Indonesia.

Jakarta/Brussels, 27 Juni 2001

Executive Summary

Long-simmering tensions between indigenous Dayaks and immigrant Madurese suddenly exploded in the town of Sampit, Central Kalimantan, in the middle of February 2001. Within days, isolated killings perpetrated by both sides had developed into a one-sided massacre of Madurese by enraged Dayaks. In the following weeks the killings spread to other areas in the province and by early April almost the entire Madurese population had fled the province. The massacre of about 500 – and possibly many more - Madurese by Dayaks and the flight of virtually the entire Madurese community closely resembled two similar events in the Sambas district in the northern part of West Kalimantan in 1996-7 and in 1999 and highlighted the danger of violence spreading to West and East Kalimantan

The violence in Central Kalimantan followed several decades of dislocation of the Dayak community - which makes up more than half of the province's population. The demographic composition of the province has been transformed, especially during the last two decades, by the Soeharto government's transmigration program and the influx of so-called 'spontaneous' migrants from other provinces seeking economic opportunities. Dayak society was also disturbed by the Soeharto regime's handing out of vast parcels of Kalimantan's forests to logging companies, many of which were connected to members of the Soeharto family, his cronies or the military, with the result that many forest-dwelling Dayaks were driven from their traditional habitat. A 1979 law providing for uniform structures of local government throughout Indonesia had the effect of undermining the authority of traditional village leaders and the cohesion of Dayak communities. Overshadowing this dislocation was a widespread feeling among Dayaks that they were often looked down on by other communities as 'backward' and 'uncivilized'.

The dislocation experienced by Dayaks, however, does not fully explain the violence of February and March. If the massacres had been primarily a response to rapid demographic change or the destruction of the forests, it could have been expected that Dayak anger would have been directed against all the migrant communities. But the violence was focused entirely on the Madurese and was eventually turned into a campaign to drive them out of the province. The Madurese community was not only small compared to the Dayaks but was also outnumbered by other migrant groups, especially the Javanese and Banjarese. Why were the Madurese in Central Kalimantan - like the Madurese in West Kalimantan several years earlier - the sole target? How would the 'ethnic cleansing' of the Madurese benefit the Dayak community? Why were other migrant communities untouched?

There are no straightforward answers. The most popular explanations are expressed in terms of common stereotypes. Dayaks often view the Madurese as arrogant, exclusive, prone to violence and untrustworthy. Dayaks, on the other hand, have been portrayed - especially in the international press - as barbarian warriors bent on reviving their ancient headhunting traditions. As is usual in ethnic conflicts, there is no agreed explanation of how the violence began. According to the Dayak version, Dayak grievances against Madurese had been accumulating for years until Madurese attacks on Dayaks in Sampit on 18-19 February triggered the spontaneous massacre of hundreds of Madurese. On the other hand, the Madurese explanation claims that certain Dayak interests provoked small-scale clashes as a pretext for the massacre that followed. But, so far, there has been no complete explanation of the alleged motives of these Dayak interests.

On one point, however, there is substantial agreement. Almost all sides note the failure of the security forces to prevent the conflict. The police are widely blamed for the failure of their intelligence network to anticipate the violence and their inability to take firm early action to prevent its spread. By the time that the massacre had got underway the police were overwhelmed and often stood by watching Dayaks burn Madurese houses and parade around Sampit with human heads. Assigned to guarding refugees after failing to prevent the killing, many police seemed more interested in making the most of opportunities to extort money from desperate Madurese. Co-operation with the military was by no means smooth and in an extraordinary incident police and army troops actually exchanged fire at Sampit's port. Despite their poor performance in Sampit, the police and the military were nevertheless able to at least minimize - although not entirely prevent - the spread of violence to other major centres including Palangkaraya, Kualakapuas and Pangkalanbun. Their task, of course, was made easier by the fact that most Madurese had fled rather than put the police and military to the test. Nevertheless, the security forces succeeded in protecting the lives of as many as 100,000 fleeing refugees.

The Indonesian government and courts now face the classic dilemma that often arises after ethnic conflict: how can accountability be pursued without further exacerbating tensions? In principle, the rule of law should be upheld and those responsible for murder, assault and arson should be tried in the courts. The failure to convict those responsible for ethnic violence creates a sense of impunity that could encourage renewed violence at later times and in other places. It can also stand in the way of long-term reconciliation. But, aside from the inherent difficulties in finding sufficient evidence, the judicial settlement of cases of communal violence not only ignores the fundamental causes of the conflict but can in itself create new problems. The perpetrators of communal massacres are usually convinced that their actions were justified and they are often regarded as heroes in their own community. Their incarceration can then become not only an obstacle to eventual reconciliation but more immediately can trigger renewed violence. The goal should still be to uphold the law but not regardless of circumstances. In some cases, a stark question cannot be avoided: how many lives are the upholders of the law prepared to sacrifice in order to uphold the law? The law should be upheld but not at any cost. Ultimately the authorities have to make fine judgements based on local conditions. Legal measures should therefore move forward in concert with efforts to address the legitimate grievances of the Dayaks – all toward the broader goal of improving security, promoting reconciliation between the Dayak and Madurese communities and creating conditions conducive to the return of refugees.

Many of the following recommendations are concerned specifically with the ethnic violence in Central Kalimantan. Nevertheless, despite the unique circumstances of Central Kalimantan, some aspects of the province’s experience suggests lessons that are relevant for other regions in Indonesia.

Jakarta/Brussels, 27 June 2001

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.