Report / Asia 3 minutes

“Deradikalisasi” dan Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Ikhtisar

Indonesia, seperti halnya negara-negara lain dimana sel-sel jihadis telah berhasil dibongkar, selama tiga tahun terakhir ini sedang melakukan eksperimen dengan program “deradikalisasi”. Meskipun istilah ini memiliki arti yang berbeda bagi orang-orang yang berbeda, pada dasarnya program ini meliputi proses meyakinkan para ekstremis untuk meninggalkan penggunaan kekerasan. Program ini juga bisa berkenaan dengan proses menciptakan lingkungan yang mencegah tumbuhnya gerakan-gerakan radikal dengan cara menanggapi “root causes” (akar-akar penyebab) yang mendorong tumbuhnya gerakan-gerakan ini, tetapi pada umumnya, semakin luas definisinya, semakin kurang tajamnya fokus program-progam yang disusun. Pengalaman menunjukkan bahwa upaya-upaya deradikalisasi di Indonesia, betapapun kreatifnya, tidak dapat dinilai secara terpisah dan kemungkinan akan gagal kalau tidak dimasukkan kedalam sebuah program reformasi penjara yang lebih luas.

Sebuah inisiatif di Indonesia, yang terarah kepada para napi yang terlibat dalam kasus terorisme, telah mendapat pujian atas keberhasilannya meyakinkan puluhan anggota JI dan beberapa anggota organisasi jihad yang lain untuk bekerja sama dengan polisi. Elemen kuncinya adalah mengenal napi-napi secara individu dan menanggapi kekhawatiran mereka, yang seringkali berkaitan dengan kebutuhan ekonomi keluarga. Jjika melalui kebaikan, polisi dapat mengubah asumsi jihadi bahwa pejabat pemerintah menurut definisi adalah thoghut (anti Islam), maka asumsi-asumsi lain mungkin akan dipertanyakan, termasuk tentang kapan dan dimana jihad diperbolehkan..

Ketika para napi menunjukkan kesediaan untuk menerima bantuan dari polisi, maka mereka membuka dirinya terhadap argumentasi agama oleh ustadz-ustadz yang kredibilitas di dalam gerakan jihad tidak bisa diragukan. Beberapa dari mereka kemudian telah menerima bahwa penyerangan-penyerangan terhadap warga sipil, seperti bom Bali I dan II dan bom Kedubes Australia, adalah salah. Tetapi, bantuan ekonomi pada akhirnya lebih penting dari argumentasi agama dalam mengubah sikap para napi ini.

Hingga saat ini program di Indonesia tersebut sebagian besar telah dilihat secara terpisah dari perkembanganyang lain dan tanpa banyak mempertanyakan mengenai sebab dan akibatnya. Contohnya, hanya sedikit upaya yang dilakukan untuk menilai apakah lebih banyak yang meninggalkan dari pada yang masuk organisasi jihad; atau apakah orang-orang yang ikut program tersebut memang sudah cenderung sebelumnya untuk menolak pengeboman; atau apakah inisiatif tersebut telah menimbulkan reaksi balik di dalam kelompok-kelompok jihadis. Selama ini hampir tidak pernah ada diskusi publik mengenai dimana keseimbangan yang tepat antara kebaikan terhadap para pelaku, dalam upaya untuk mencegah aksi penyerangan dimasa datang, dan keadilan bagi para korban.

Sejauh ini juga tidak cukup perhatian yang diberikan terhadap hubungan antara program deradikalisasi
dan sistem pemasyarakatan di Indonesia – dan keberhasilan yang satu bisa dilemahkan oleh kinerja buruk dari yang lain. Sekarang ini di Indonesia ada sekitar 170 orang laki-laki (tidak ada perempuan) yang meringkuk dalam penjara atas keterlibatan mereka dalam tindak kriminal terorisme, kurang dari setengahnya adalah anggota JI. Sejak 1999, sekitar 150 orang laki-laki dan satu orang perempuan sudah dibebaskan setelah menjalani hukuman yang berhubungan dengan aksi terorisme; pada tahun 2006-2007 saja, lebih dari 60 orang dibebaskan.

Pada akhirnya, inisiatif polisi ditujukan pada penggunaan bekas napi sebagai ujung tombak pembaharuan di dalam lingkungan mereka sendiri. Tetapi tugas tersebut menjadi jauh lebih berat karena longgarnya sistem penjara dimana para napi jihadis bersatu untuk melawan atau melindungi diri terhadap geng-geng napi yang lain; dimana pemrakarsa ideologi yang hard core bisa merekrut penjahat biasa dan sipir penjara; dan dimana korupsi begitu merajalela sehingga hal ini memperkuat anggapan mereka bahwa pejabat pemerintah adalah thoghut. Pada kenyataannya, polisi berupaya sekuat mungkin untuk tetap memenjarakan para terhukum jihadis di tahanan polisi, karena mereka tahu bahwa begitu orang-orang ini dipindahkan ke penjara, semua pengaruh positive dari program deradikalisasi bisa hilang. Petugas penjara di Indonesia baru saja mulai diikutkan dalam program pelatihan counter-teror. Keterlibatan mereka perlu dilanjutkan tetapi persoalannya jauh lebih dalam. Kalau korupsi di dalam penjara tidak ditangani, maka para jihadis, seperti halnya pelanggar narkoba, pembunuh, dan koruptor kelas kakap, akan bisa berkomunikasi dengan siapapun yang mereka mau dan menyiasati peraturan apapun yang dimaksudkan untuk membatasi pengaruh mereka terhadap napi yang lain. Kalau petugas penjara tidak banyak tahu mengenai para jihadis yang berada dalam pengawasan mereka, mereka tidak akan tahu apa yang harus diawasi dalam hal perekrutan – misalnya, siapa diantara para napi biasa yang bergabung dengan kelompok jihadis, mengapa dan berapa lama – atau dalam penyebaran ajaran radikal. Kalau tidak ada koordinasi yang lebih baik antara petugas penjara dan polisi, pada akhirnya mungkin mereka dengan tidak sengaja akan saling memperlemahkan hasil kerjanya..

Reformasi dalam LP sangat dibutuhkan di Indonesia untuk banyak alasan, tetapi membantu program deradikalisasi adalah salah satunya.

Jakarta/Brussels, 19 November 2007

Executive Summary

Indonesia, like many countries where Islamic jihadi cells have been uncovered, has been experimenting over the last three years with “deradicalisation” programs. While the term is poorly defined and means different things to different people, at its most basic it involves the process of persuading extremists to abandon the use of violence. It can also refer to the process of creating an environment that discourages the growth of radical movements by addressing the basic issues fuelling them, but in general, the broader the definition, the less focused the program created around it. Experience suggests that deradicalisation efforts in Indonesia, however creative, cannot be evaluated in isolation and they are likely to founder unless incorporated into a broader program of prison reform.

One Indonesian initiative, focused on prisoners involved in terrorism, has won praise for its success in persuading about two dozen members of Jemaah Islamiyah (JI) and a few members of other jihadi organisations to cooperate with the police. Key elements are getting to know individual prisoners and responding to their specific concerns, often relating to economic needs of their families, as well as constant communication and attention. One premise is that if through kindness, police can change the jihadi assumption that government officials are by definition thoghut (anti-Islamic), the prisoners may begin to question other deeply-held tenets.

Once prisoners show a willingness to accept police assistance, they are exposed to religious arguments against some forms of jihad by scholars whose credentials within the movement are unimpeachable. Some have then accepted that attacks on civilians, such as the first and second Bali bombings and the Australian embassy bombing, were wrong. The economic aid, however, is ultimately more important than religious arguments in changing prisoner attitudes.

The Indonesian program until now has largely been viewed in isolation from other developments and without much questioning about cause and effect. There has been little attempt, for example, to assess whether more people are leaving jihadi organisations than joining them; whether the men joining the program were already disposed to reject bombing as a tactic; or whether the initiative has created any backlash in jihadi ranks. There has been almost no public discussion about where the appropriate balance should be between leniency toward perpetrators, in an effort to prevent future attacks, and justice for victims.

There has also been insufficient attention to the relationship between the deradicalisation program and the Indonesian corrections system – and the gains of the one can be undermined by the poor performance of the other. Indonesia has some 170 men (no women) currently incarcerated for involvement in jihadi crimes, less than half JI members. About 150 men and one woman have been released after serving sentences for crimes related to terrorist acts, more than 60 in 2006-2007 alone.

Ultimately, the police initiative is aimed at using ex-prisoners as a vanguard for change within their own communities after their release but the task is made infinitely harder by a lax prison regime where jihadi prisoners band together to protect themselves against inmate gangs; where hardcore ideologues can and do recruit ordinary criminals and prison wardens to their cause; and where corruption is so pervasive that it reinforces the idea of government officials as anti-Islamic. In fact, counter-terrorism police do their best to keep jihadi detainees in police holding cells, knowing that as soon as they are transferred to prison, the chances of keeping them on the right track plummet.

Indonesian prison administrators have just begun to be included in counter-terrorism training programs. Their involvement should continue but the problem goes much deeper. Unless prison corruption is tackled, jihadis, like narcotics offenders, murderers, and big-time corruptors, will be able to communicate with anyone they want and get around any regulation designed to restrict their influence over other inmates. Unless prisons get more and better trained staff, they will not be able to address the problem of gangs and protection rackets among inmates that serve to strengthen jihadi solidarity. Unless prison administrators know more about the jihadis in their charge, they will not know what to look for in terms of recruitment – who among ordinary criminal inmates joins jihadi groups, why and for how long – or dissemination of radical teachings. Unless there is better coordination between prison authorities and the counter-terrorism police, they may end up working at cross-purposes.

Prison reform is urgently needed in Indonesia for many different reasons but helping buttress deradicalisation programs is one.

Jakarta/Brussels, 19 November 2007

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.