Report / Asia 3 minutes

Bagaimana kelompok ekstrimis membentuk kelompok baru

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan ikhtisar

Hampir sepuluh tahun setelah peristiwa bom Bali yang membuat terorisme di Indonesia menjadi perhatian internasional, kelompok ekstrimis di Indonesia saat ini lemah dan terpecah tapi masih aktif. Menghadapi tekanan yang kuat dari polisi, mereka menemukan cara-cara untuk membentuk kelompok baru saat dalam pelarian, penjara dan lewat forum-forum internet, kamp pelatihan militer dan perkawinan. Dalam banyak kasus, individu-individu yang sama terus muncul kembali dengan menggunakan jaringan-jaringan lama untuk membentuk aliansi baru. Kenyataan bahwa mereka terus menerus gagal dalam operasi-operasi mereka belakangan ini bukan berarti ancaman bahaya sudah lewat. Ada tanda-tanda bahwa paling sedikit beberapa diantara mereka sedang belajar dari kegagalan dan menjadi lebih canggih dalam perekrutan dan penggalangan dana. Pemahaman yang lebih baik mengenai bagaimana para ekstrimis membentuk kelompok baru akan dapat membantu penyusunan program-program counter-ekstrimisme yang lebih efektif.

Pukulan terbesar terhadap kemampuan para teroris belakangan ini adalah terbongkarnya sebuah kamp pelatihan di Aceh di awal tahun 2010 oleh polisi. Sebuah aliansi yang terdiri dari hampir seluruh kelompok jihadi utama di Indonesia telah berencana untuk mendirikan sebuah basis yang aman (qoidah aminah) di Aceh. Banyak pemimpin senior mereka yang tertangkap atau tewas tertembak dan sejumlah besar informasi dari sana yang telah menghasilkan penangkapan, pengadilan dan pemenjaraan sekitar 200 individu. Bukannya membuat para ektrimis kemudian takut sampai tidak aktif lagi, operasi-operasi polisi ini ternyata malah mendorong sebuah gelombang aktivitas yang dimotivasi oleh keinginan balas dendam dengan dibentuknya kerjasama dan pusat-pusat pelatihan baru serta diluncurkannya aksi amaliyah baru. Aktivitas-aktivitas para ekstrimis ini paling terlihat di Medan, Poso, Solo, Bima, dan sebagian Kalimantan Timur. Kegiatan-kegiatan bawah tanah selama ini dibantu secara langsung atau tidak langsung oleh para ustadz radikal dimana pengajian-pengajian mereka telah memberi inspirasi dan tempat bertemu bagi para ekstremis dan simpatisannya.

Hampir seluruh plot serangan teroris (ada lebih dari sepuluh) sejak tahun 2010 terkait langsung atau tidak langsung dengan para buronan dari Aceh. Mudahnya para buronan DPO (Daftar Pencarian Orang) ini dalam bergerak, berkomunikasi dengan rekan-rekan mereka di penjara, berbagi informasi dan ketrampilan, menyebarkan ideologi, membeli senjata, melakukan pelatihan dan merekrut anggota-anggota baru memperlihatkan begitu banyaknya upaya preventif mendasar yang masih harus dilakukan.

Banyak dari kelompok-kelompok jihadi yang beroperasi saat ini punya hubungan dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), sebuah kelompok yang dibentuk oleh Abu Bakar Ba’asyir di tahun 2008, yang telah menggantikan Jemaah Islamiyah (JI) sebagai organisasi jihad paling besar dan aktif di Indonesia. JI kini menjadi obyek cemoohan dari kelompok-kelompok yang lebih militan, karena dianggap telah meninggalkan jihad. Tapi JI terus membawa pengaruh lewat sekolah-sekolah mereka, dan melalui mantan anggota yang bergabung dengan organisasi-organisasi lain. Beberapa kelompok yang lebih kecil juga telah muncul, seringkali terdiri dari para pemuda yang tidak berpengalaman dan tidak punya ketrampilan, disiplin atau visi strategis yang dimiliki oleh generasi yang mendapat training di perbatasan Afghanistan-Pakistan antara tahun 1985 dan 1994, yang telah menghasilkan para pelaku bom Bali.

Materi-materi yang di-posting di situs-situs radikal memperlihatkan bahwa para ekstrimis yang lebih berpendidikan telah dapat pelajaran dan pengalaman penting di Aceh, terutama mereka sadar sejauh mana kelompok mereka telah disusupi oleh “musuh” (negara RI, terutama polisi). Kesimpulannya: mereka harus jauh lebih hati-hati dalam menyaring anggota-anggota mereka, melindungi komunikasi dan menjaga rahasia. Kalau para ekstrimis benar-benar mengikuti pelajaran ini, maka tugas polisi akan menjadi lebih sulit.

Pemerintah sejauh ini belum banyak melakukan introspeksi mengenai mengapa perekrutan terus terjadi atau mengapa ada begitu banyak plot teroris – meskipun kebanyakan tidak direncanakan dengan baik. Keberhasilan upaya counter-terrorism di Indonesia selama ini berkat penegakan hukum yang baik. Polisi kini sudah terampil dalam mengidentifikasi dan menangkap mereka yang bertanggungjawab atas kejahatan kekerasan dan mencegah plot-plot serangan teroris selama ada bukti untuk bertindak, seperti kepemilikan senjata dan bahan peledak secara ilegal. Tapi hampir tidak ada program-program yang efektif untuk menangani lingkungan dimana ideologi ekstrim terus berkembang.

Jakarta/Brussels, 16 Juli 2012

Executive Summary

Almost ten years after the Bali bombing that brought terrorism in Indonesia to international attention, the country’s violent extremists are weak and divided but still active. In the face of strong police pressure, they are finding ways to regroup on the run, in prison and through internet forums, military training camps and arranged marriages. In many cases, the same individuals keep reappearing, using old networks to build new alliances. The fact that they have been singularly inept in their operations in recent years does not mean that the danger of attacks is over. There are signs that at least some are learning lessons from past failures and becoming more sophisticated in recruitment and fundraising. Better understanding of how extremists regroup could lead to more effective counter-radicalisa­tion programs.

The biggest blow to terrorist capacity in recent years was the break-up in early 2010 of a training camp in Aceh, on the northern tip of Sumatra, where an alliance of almost all major jihadi groups in the country had planned to establish a base. Many senior leaders were captured or killed and a wealth of information discovered that led to the arrest, trial and imprisonment of some 200 individuals. Instead of cowing the jihadis into submission, however, police operations inspired a new wave of activity motivated by the desire for revenge, with new partnerships and training centres established and new plans set in motion. Activity has been particularly noticeable in Medan, North Sumatra; Poso, Central Sulawesi; Solo, Central Java; Bima, West Nusa Tenggara; and parts of East Kalimantan. Underground activity has been directly or indirectly assisted by radical preachers whose meetings provide inspiration and meeting grounds for jihadis and sympathisers. Some pro-Sharia (Islamic law) advocacy groups that do not use violence themselves but whose teachings are in line with jihadi views play a similar role.

Almost all the plots since 2010, and there have been more than a dozen, are connected directly or indirectly to the fugitives from Aceh. The ease with which wanted men can move around, communicate with friends in prison, share information and skills, disseminate ideology, purchase arms, conduct training and recruit new followers shows how much basic preventive work still needs to be done.

Many of the jihadi groups operating today have links to Jamaah Anshorut Tauhid (JAT), a group set up by radical cleric Abu Bakar Ba’asyir in 2008 that has replaced Jemaah Islamiyah (JI) as the country’s largest and most active jihadi organisation. JI, responsible for the 2002 Bali attack, is now the object of scorn from more militant groups, accused of abandoning jihad. It continues to exert an influence through its schools, however, and many disaffected former members remain active through other organisations. Several smaller groups have emerged as well, often composed of inexperienced young amateurs who lack the skills, discipline and strategic vision of the generation that trained on the Afghanistan-Pakistan border between 1985 and 1994 and produced the Bali bombers.

Materials posted on radical websites suggest that the more educated extremists have learned important lessons from the Aceh experience, especially in terms of awareness of the extent to which their ranks have been infiltrated by the “enemy” – the Indonesian state. They conclude that they must be much more careful about vetting members, protecting communications and guarding secrets. If jihadis were to heed these lessons, the task of the police could become much harder.

There has been less introspection within the government about why recruitment continues to take place or why there are so many more terrorist plots – even if most have been poorly conceived. Indonesia’s counter-terrorism successes have all been due to good law enforcement. The police have become skilled at identifying and arresting those responsible for violent crimes and interdicting plots as long as there is evidence, such as illegal possession of guns or explosives, on which to act. But virtually no effective programs are in place to address the environment in which jihadi ideology continues to flourish.

Jakarta/Brussels, 16 July 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.