Briefing / Asia 2 minutes

Senjata Gelap di Indonesia

Ringkasan Ikhtisar

Sebuah perampokan bank bersenjata yang membawa korban jiwa bulan Agustus lalu dan terungkapnya kamp latihan tempur teroris yang menggunakan senjata api bekas milik polisi di Aceh bulan Februari 2010 telah menarik perhatian masyakarat pada peredaran senjata api ilegal di Indonesia. Kejadian tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana senjata-senjata api itu bisa jatuh ke tangan penjahat dan langkah-langkah apa yang dilakukan untuk mencegahnya. Persoalan ini menjadi lebih mendesak apalagi karena sekelompok kecil teroris di Indonesia yang prihatin dengan jatuhnya korban Muslim dalam aksi pemboman, sedang mulai membahas penembakan jitu sebagai metode operasi yang lebih dipilih.

Pemerintah Indonesia bisa mulai menangani masalah ini dengan meninjau dan memperkuat kepatuhan terhadap prosedur penyimpanan, inventori, dan pemusnahan senjata api; meningkatkan proses seleksi dan pengawasan terhadap yang menjaga gudang senjata; melakukan audit terhadap para importir senjata dan toko-toko senjata, termasuk mereka yang menjual senjata online; dan menegakkan peraturan terhadap senjata-senjata “airsoft” yang penampilannya persis seperti senjata api sungguhan tapi menggunakan peluru plastik, yang kini semakin populer.

Tetapi persoalan ini perlu diletakkan dalam perspektif yang tepat, karena skala persoalannya tidak terlalu besar. Indonesia tidak “berbudaya senjata” seperti di Filipina atau Thailand. Korban tewas akibat senjata api teroris di Indonesia selama sepuluh tahun terakhir berjumlah sekitar dua puluh orang, setengahnya adalah polisi, dan sebagian besar terjadi di daerah paska konflik Sulawesi Tengah dan Maluku. Hubungan antara terorisme dan kejahatan tidak sekuat seperti di negara-negara lain. Ada beberapa kasus barter ganja dengan senjata api – dan ada contoh kasus barter senjata api dengan binatang trenggiling – tapi pada umumnya, narkoterorisme bukan masalah besar di Indonesia.

Persoalan yang lebih serius adalah perampokan bersenjata terhadap bank, toko emas dan ATM oleh para anggota kelompok ekstrimis, karena aksi “fa’i” seperti ini sudah lama dipakai sebagai metode penggalangan dana. Pada saat laporan ini ditulis, masih belum jelas siapa yang berada di belakang perampokan bank di Medan, meskipun preman masih jadi kemungkinan yang terkuat. Tapi kelompok jihad sudah pernah merampok bank di Medan sebelumnya, yang paling menonjol yaitu perampokan Lippo Bank tahun 2003. Kejahatan semacam ini hanya sebagian kecil dari kasus-kasus perampokan di Indonesia, tapi kita patut menyoroti dari mana senjata api yang digunakan diperoleh. Persoalan ini bisa meningkat karena organisasi teroris yang dulu besar kini menjadi lemah dan terpecah, terutama mereka yang tadinya bergantung pada sumbangan anggota untuk mendanai kegiatan harian mereka. Perekrutan anggota baru yang tadinya penjahat biasa di dalam penjara oleh para anggota kelompok jihad juga bisa memperkuat hubungan antara terorisme dan kriminal di masa depan.

Ada empat sumber utama untuk memperoleh senjata api gelap di Indonesia. Mereka bisa dicuri atau dibeli secara ilegal lewat oknum TNI atau polisi, diambil dari sisa senjata di bekas wilayah-wilayah konflik, dirakit oleh pembuat senjata lokal atau diselundupkan dari luar negeri. Ribuan senjata api yang diperoleh secara legal tapi kemudian menjadi ilegal ketika ijin penggunaannya tidak berlaku lagi telah menjadi keprihatinan, karena tidak ada seorangpun yang tahu dimana senjata tersebut sekarang. Di seluruh Indonesia, korupsi telah memfasilitasi peredaran senjata api gelap dalam berbagai cara dan merusak apa yang di atas kertas merupakan sebuah sistem peraturan yang ketat.

Jakarta/Brussels, 6 September 2010

Overview

A bloody bank robbery in Medan in August 2010 and the discovery in Aceh in February 2010 of a terrorist training camp using old police weapons have focused public attention on the circulation of illegal arms in Indonesia. These incidents raise questions about how firearms fall into criminal hands and what measures are in place to stop them. The issue has become more urgent as the small groups of Indonesian jihadis, concerned about Muslim casualties in bomb attacks, are starting to discuss targeted killings as a preferred method of operation.

The Indonesian government could begin to address the problem by reviewing and strengthening compliance with procedures for storage, inventory and disposal of firearms; improved vetting and monitoring of those guarding armouries; auditing of gun importers and gun shops, including those that sell weapons online; and paying more attention to the growing popularity of “airsoft” guns that look exactly like real ones but shoot plastic pellets.

The problem needs to be kept in perspective, however. It is worth addressing precisely because the scale is manageable. Indonesia does not have a “gun culture” like the Philippines or Thailand. The number of people killed by terrorist gunfire in Indonesia over the last decade is about twenty, more than half of them police, and most of the deaths took place in post-conflict central Sulawesi and Maluku. The nexus between terrorism and crime is not nearly as strong as in other countries. There have been a few cases of bartering ganja (marijuana) for guns – and one case of trading endangered anteaters – but in general, narco-terrorism is not a problem.

Jihadi use of armed robberies as a fund-raising method is a more serious issue, with banks, gold stores and ATMs the favourite targets. As of this writing it remained unclear who was behind the Medan robbery – although criminal thugs remain the strongest possibility – but jihadi groups have robbed Medan banks before, most notably the Lippo Bank in 2003. Such crimes constitute a miniscule proportion of the country’s robberies, but it is still worth looking at where the guns come from when they occur. The problem may increase as the larger jihadi groups weaken and split, particularly those that once depended on member contributions for financing day-to-day activities. Recruitment by jihadis of ordinary criminals in prisons may also strengthen the linkage between terrorism and crime in the future.

There are four main sources of illegal guns in Indonesia. They can be stolen or illegally purchased from security forces, taken from leftover stockpiles in former conflict areas, manufactured by local gunsmiths or smuggled from abroad. Thousands of guns acquired legally but later rendered illicit through lapsed permits have become a growing concern because no one has kept track of them. Throughout the country, corruption facilitates the circulation of illegal arms in different ways and undermines what on paper is a tight system of regulation.

Jakarta/Brussels, 6 September 2010

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.