Briefing / Asia 3 minutes

Indonesia: "Kristenisasi" dan intoleransi

Ringkasan Ikhtisar

Beberapa tahun belakangan ini, toleransi beragama di Indonesia sedang diuji, terutama di daerah dimana kelompok Muslim garis keras dan para Kristen neo-Pentakosta saling bersaing. Pihak muslim menggunakan isu “Kristenisasi” (sebuah istilah yang umumnya dipakai bagi upaya-upaya kaum Kristen memurtadkan orang Islam , maupun kecemasan menguatnya pengaruh Kristen di Indonesia) sebagai alasan untuk aksi mobilisasi massa dan main hakim sendiri. Ketegangan yang disebabkan oleh bentrokan antara dua “fundamentalisme” ini sangat terlihat di Bekasi, dimana sejumlah sengketa sejak tahun 2008 mengenai pembangunan gereja, tuduhan adanya upaya baptis masal serta penghinaan terhadap Islam telah memicu terjadinya beberapa kasus kekerasan. Pemerintah perlu strategi untuk menangani intoleransi beragama yang semakin meningkat. Tanpa strategi yang jelas, penghakiman massa yang menang. Biasanya pejabat daerah baru akan menangani kasus ketika insiden itu sudah lepas kendali dan biasanya para pejabat menyerah kepada kelompok yang paling nyaring suaranya. Setiap kali terjadi, pihak yang menang menjadi semakin berani berkonfrontasi.

Meningkatkan ketegangan agama di Indonesia karena beberapa penyebab:

  • Kegagalan pemerintah untuk secara efektif mencegah ataupun menindak hasutan dan intimidasi terhadap pemeluk agama minoritas.
     
  • Tumbuhnya organisasi-organisasi Islam yang suka main hakim sendiri dan koalisi-koalisi diantara mereka, yang kini jadi ancaman bagi ketertiban umum.
     
  • Kegiatan penginjilan yang agresif di daerah Muslim.
     
  • Delegasi kekuasaan ke pejabat daerah lewat desentralisasi, bahkan mengenai masalah keagamaan yang seharusnya tetap dipegang oleh pemerintah pusat.
     
  • Keengganan untuk menindak aktivitas “hate speech” (ungkapan kebencian) sebagian disebabkan kebingungan menentukan batasan terhadap kebebasan berekspresi yang sah.
     
  • kurangnya upaya yang serius untuk memajukan toleransi beragama sebagai nilai-nilai kebangsaan.

Insiden di Bekasi menjadi contoh kasus ketegangan agama yang sedang terjadi. Organisasi-organisasi muslim garis keras seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Gerakan Pemuda Islam (GPI) yang dua-duanya punya unsur anti-Kristen, sudah lama aktif di Bekasi. Disana juga ada Front Pembela Islam (FPI) dan juga beragam koalisi anti-pemurtadan. Bekasi juga menjadi salah satu basis komunitas salafi jihadi seperti Jemaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dideklarasikan Abu Bakar Ba’asyir di asrama haji Bekasi pada tahun 2008.

Di pihak Kristen, beberapa organisasi penginjil yang berkomitmen untuk mengkristenkan Muslim juga ada di Bekasi, beberapa didanai dari luar negeri, yang lain murni lokal. Yayasan Mahanaim, salah satu organisasi neo-Pentakosta yang paling bonafide serta aktif, sangat dibenci kaum muslim garis keras karena program-programnya menjadikan orang-orang muslim yang miskin sebagai objek pemurtadan. Sebelumnya, Yayasan Kaki Dian Emas, yang dijalankan oleh pendeta yang tadinya muslim, menggunakan kaligrafi Arab pada sampul-sampul publikasinya, seolah-olah isinya mengenai Islam, dan mewajibkan setiap siswa sekolahnya mengkristenkan sepuluh orang sebagai syarat kelulusan.

Meskipun para pejabat dan anggota DPR bicara mengenai pentingnya “kerukunan beragama”, ada kesan mereka beranggapan hal ini bisa diatur undang-undang, ketimbang meluangkan waktu dan upaya memahami kenapa ketegangan meningkat serta mengembangkan program-program yang dirancang untuk mengurangi ketegangan agama. Dialog antar agama bukanlah jawabannya; dengan beberapa perkecualian, dialog ini sering hanya sekedar rapat diantara orang-orang yang senang bicara tanpa bisa menyelesaikan masalah.

Diantara banyak alasan mengenai pentingnya mengembangkan sebuah strategi untuk mengurangi ketegangan antar agama, yang juga perlu mendapat perhatian khusus adalah : Isu “Kristenisasi” mungkin bisa membuat kelompok agama yang sebelumnya berjuang tanpa kekerasan bekerjasama dengan para ekstrimis yang violent. Hingga beberapa waktu lalu, perhatian kaum salafi jihadis terhadap agenda yang lebih bersifat internasionalis membuat mereka menjauhi aktivis anti-pemurtadan. Tetapi dengan hilangnya motivasi domestik untuk merekrut anggota-anggota baru, terutama dengan berakhirnya konflik di Ambon dan Poso, telah membuat “Kristenisasi” jadi isu menarik untuk merekrut anggota baru. Di Palembang pada 2008, seorang buronan anggota Jemaah Islamiyah (JI) dari Singapura berhasil merekrut berberapa anggota LSM FAKTA (Forum Anti Gerakan Pemurtadan) dengan pertama-tama meyakinkan mereka bahwa membunuh pendeta pemurtad adalah satu-satunya cara untuk menghentikan kristenisasi. Pada persidangan orang-orang yang terlibat kasus pelatihan teror di Aceh terungkap bahwa kristenisasi di Aceh disebut sebagai salah satu motivasi kenapa mereka bergabung.

Lima tahun belakangan ini jaringan teroris di Indonesia sudah makin lemah dan terpecah belah, namun eksploitasi yang sistematis terhadap ketakutan menguatnya pengaruh Kristen, mungkin bisa dimanfaatkan kelompok teroris buat merekrut orang-orang baru.

Jakarta/Brussels, 24 November 2010

I. Overview

Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground. Islamists use “Christianisation” – a term that generally refers both to Christian efforts to convert Muslims and the alleged growing influence of Christianity in Muslim-majority Indonesia – as a justification for mass mobilisation and vigilante attacks. The tensions brought about by these clashing fundamentalisms are nowhere clearer than in Bekasi, a suburb of Jakarta, where a series of disputes since 2008 over church construction, alleged mass conversion efforts and affronts to Islam have led in some cases to violence. The Indonesian government needs a strategy to address growing religious intolerance, because without one, mob rule prevails. Local officials address each incident only when it gets out of hand and usually by capitulating to whoever makes the most noise. Every time this happens, the victors are emboldened to raise the stakes for the next confrontation.

Christian-Muslim tensions have increased in Indonesia for several reasons:

  • Failure of the government to prevent or effectively prosecute incitement and intimidation against religious minorities.
     
  • Growth of Islamic vigilante organisations and various like-minded coalitions that have become a public order menace.
     
  • Aggressive evangelical Christian proselytising in Muslim strongholds.
     
  • Effective devolution of power through decentralisation to local authorities, even on issues such as religious affairs which are supposed to be the preserve of the central government.
     
  • Reluctance to prosecute “hate speech” partly out of confusion over acceptable limits on legitimate free expression.
     
  • Lack of any serious effort to promote tolerance as a national value.

The incidents in Bekasi exemplify some of the dynamics involved. Islamist organisations like the Indonesian Islamic Propagation Council (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, DDII) and Islamic Student Movement (Gerakan Pemuda Islam, GPI) have long been active there, both with a strongly anti-Christian streak. Islamic Defenders Front (Front Pembela Islam, FPI) has had a strong presence for the last decade, and recent years have seen the formation of a variety of anti-apostasy coalitions. Bekasi also has a well-entrenched salafi jihadi community, and Jemaah Ansharut Tauhid (JAT), the organisation established by the radical cleric Abu Bakar Ba’asyir in 2008, held its inaugural ceremony at the dormitory for Mecca-bound pilgrims there.

On the Christian side, several evangelical organisations committed to converting Muslims have also set up shop in Bekasi, some funded internationally, others purely home-grown. Yayasan Mahanaim, one of the wealthiest and most active, is particularly loathed by the Islamist community because of its programs targeting the Muslim poor. Another, Yayasan Bethmidrash Talmiddin, run by a Muslim convert to Christianity, uses Arabic calligraphy on the cover of its booklets, suggesting they are Islamic in content, and requires every student at its school as a graduation requirement to convert five people.

While officials and legislators talk of the need for “religious harmony”, there is a sense that this can be legislated or even imposed, rather than requiring sustained time and effort to understand how tensions have grown and developing programs designed to reduce them. Interfaith dialogues are not the answer; with a few exceptions, they are often little more than feel-good talk-fests that do not grapple with real problems.

Among the many reasons for developing a strategy to curb communal tensions, one deserves particular attention: the issue of “Christianisation” may be driving non-violent and violent extremists together. Until recently, the attachment of salafi jihadis – the violent extremists – to a more internationalist agenda led them to generally steer clear of local “anti-apostasy” activists. But the loss of other local drivers for recruitment, particularly the end of sectarian violence in Poso, Central Sulawesi, has made “Christianisation” more attractive as a rallying cry. In Palembang, South Sumatra in 2008, a fugitive Singaporean member of Jemaah Islamiyah (JI) recruited members of an anti-apostasy group called FAKTA by first persuading them that murder, rather than non-violent advocacy, was the only way to stop Christian proselytisation. And in September 2010, dozens of Acehnese on trial for taking part in a terrorist training camp cited as one of their motivations concern over “Christianisation” in Aceh.

Terrorist networks in Indonesia have grown substantially weaker and more divided over the last five years, but systematic exploitation of the fear that Christians are making inroads on Islam might bring them new followers, including from among the vigilantes that they have hitherto largely shunned.

Jakarta/Brussels, 24 November 2010

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.