Report / Asia 3 minutes

Indonesia: Ketegangan Antar Agama di Papua

Ringkasan ikhtisar

Di Papua, Indonesia, bentrokan antara pendukung gerakan pro-kemerdekaan dengan aparat keamanan kerap terjadi. Namun, konflik antara umat beragama yaitu umat Islam dan Kristen juga bisa terjadi bila tak ditangani secara efektif. Pada 2007 kekerasan yang nyaris terjadi dapat dihindari di Manokwari dan Kaimana di propinsi Papua Barat. Tapi, tetap saja ketegangan itu menyisakan perasaan sakit hari di kedua belah pihak. Penyebab utamanya yaitu perpindahan penduduk Muslim dari daerah lain di Indonesia ke Papua yang terus berlangsung; munculnya kelompok-kelompok baru yang bersifat eksklusif di masyarakat Islam maupun Kristen yang telah memperkuat persepsi bahwa agama yang lain adalah musuh; dampak yang tidak hilang-hilang dari konflik Maluku; dan pengaruh dari perkembangan di luar Papua. Pemerintah daerah maupun pusat perlu memastikan bahwa tidak ada peraturan daerah yang diskriminatif yang dijadikan undang-undang dan tidak ada kegiatan oleh organisasi agama yang eksklusif yang dibantu oleh dana pemerintah.

Peristiwa Manokwari, yang terjadi dalam selang waktu lebih dari dua tahun, memperlihatkan beberapa perubahan-perubahan tersebut. Dimulai pada tahun 2005, ketika masyarakat Kristen menggalang massa untuk mencegah dibangunnya sebuah Islamic Centre dan mesjid di daerah dimana misionaris Jerman membawa agama Kristen masuk ke Papua pada pertengahan abad kesembilanbelas. Kemarahan masyarakat Muslim merembet hingga keluar Papua; banyak warga Muslim di Indonesia, yang baru mengetahui tentang sejarah pedagang Muslim di daerah tersebut, melihat Islam sebagai agama asli penduduk Papua dan menganggap penolakan pembangunan mesjid disitu sebagai hal yang tidak dapat ditolerir. Para pemuka gereja setempat demi melihat reaksi tersebut percaya bahwa mereka harus memperkuat identitas Kristen Manokwari, sehingga pada tahun 2007 membuat rancangan peraturan ke DPRD yang menanamkan nilai-nilai dan simbol-simbol Kristen ke dalam pemerintah daerah dan mendiskriminasikan Muslim dalam prosesnya. Rancangan peraturan tersebut hingga saat ini akhirnya tidak pernah diundangkan tetapi telah memicu kemarahan diantara masyarakat Muslim di seluruh Indonesia dan semakin menambah perasaan terancam di kedua belah pihak. Masih perlu dilihat bagaimana tanggapan terhadap rancangan undang-undang baru yang baru mulai diedarkan akhir bulan Mei 2008.

Namun tidak di Manokwari saja yang masyarakatnya merasa terancam. Banyak penduduk asli Kristen yang merasa bahwa mereka secara perlahan tapi pasti bakal tersingkir terancam oleh banjir migrant Muslim ke Papua, pada saat yang sama pemerintah pusat dipandang mendukung terhadap Islam yang lebih konservatif. Sementara itu, beberapa pendatang percaya bahwa mereka menghadapi diskriminasi atau bahkan pengusiran dalam sebuah sistem demokratis dimana warga Kristen bisa melakukan “tirani kelompok mayoritas”. Perpecahan antar agama ini diwarnai oleh politik: Banyak warga Papua Kristen yang menganggap otonomi daerah belum berjalan cukup jauh, sementara banyak pendatang Muslim yang melihat otonomi daerah sebagai sebuah bencana dan menjadi pendukung kekuasaan terpusat dari Jakarta.

Di beberapa daerah, ketegangan yang terpendam selama ini dikendalikan dengan memasang bupati asal Papua yang beragama Kristen dengan wakil bupati dari luar Papua yang beragama Muslim, dan kekuasaan politik dan ekonominya dibagi sesuai dengan komposisi tersebut. Pengaturan ini mungkin bisa berjalan di wilayah seperti Merauke, dimana populasi pendatangnya sudah lebih dari 50 persen, tetapi hal ini bukan jalan keluar bagi daerah yang penduduk mayoritasnya merasa terancam.

Didaerah dimana resiko konfliknya tinggi, penduduk asli Papua Muslim, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Kepala Burung di bagian barat laut pulau Papua, bisa memainkan peran untuk menjembatani kedua belah pihak, terutama lewat sebuah organisasi baru bernama Majelis Muslim Papua. Organisasi ini secara tegas bertekad untuk menerapkan nilai-nilai Islam yang universal dan juga sangat berakar pada budaya dan tradisi Papua. Mereka memiliki kemampuan yang terbukti untuk meredakan ketegangan antar agama, bekerja sama dengan rekan Kristen mereka. Tetapi masyarakat asli Muslim pun sedang terpecah, karena semakin banyak warga yang memiliki kesempatan untuk belajar tentang Islam ke luar Papua dan pulang dengan pandangan-pandangan yang bertentangan dengan kebiasaan dan tradisi asli. Akan menjadi kepentingan banyak pihak untuk mendukung sebuah jaringan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri di Papua yang bisa menghasilkan ulama-ulama dari warga asli dan mendorong karakteristik moderat yang sudah lama dianut oleh Muslim Papua.

Ada beberapa mekanisme yang bisa dipakai untuk melakukan dialog antar para pemuka agama di Papua, termasuk kelompok kerja (Pokja) bidang agama Majelis Rakyat Papua, yaitu sebuah lembaga yang dibentuk untuk melestarikan hak dan tradisi warga Papua, tapi mereka tidak punya dampak ke akar rumput. Yang lebih efektif mungkin lewat program-program yang dirancang untuk mengidentifikasi wilayah-wilayah rawan konflik dan menyusun program-program non-agama yang bisa memberi manfaat bagi kedua masyarakat.

Jakarta/Brussels, 16 Juni 2008

Executive Summary

Indonesian Papua has seen periodic clashes between pro-independence supporters and goverment forces, but conflict between Muslim and Christian communities could also erupt unless rising tensions are effectively managed. Violence was narrowly averted in Mano­kwari and Kaimana in West Papua province in 2007, but bitterness remains on both sides. The key fac­tors are continuing Muslim migration from elsewhere in Indonesia; the emergence of new, exclusivist groups in both religious communities that have hardened the perception of the other as enemy; the lasting impact of the Maluku conflict; and the impact of developments outside Papua. National and local officials need to ensure that no discriminatory local regulations are enacted, and no activities by exclusivist religious organisations are supported by government funds.

The Manokwari drama, played out over more than two years, illustrates some of the changes. It started in 2005, when Christians mobilised to prevent an Islamic centre and mosque from being built on the place where German missionaries brought Christianity to Papua in the mid-nineteenth century. Muslim anger went beyond Papua; many Indonesian Muslims, newly conscious of the history of Muslim traders in the area, saw Islam as Papua’s original religion and found the rejection of the mosque intolerable. Local church leaders, seeing the reaction, believed they needed to strengthen Manokwari’s Christian identity and in 2007 drafted a regulation for the local parliament that would have infused the local goverment with Christian values and symbols and discriminated against Muslims in the process. It was never enacted but generated a furore in Muslim communities across Indonesia and increased the sense of siege on both sides. It remains to be seen how a new draft that began to be circulated in late May 2008 will be greeted.

It is not just in Manokwari, however, that the communities feel themselves under threat. Many indigenous Christians feel they are being slowly but surely swamped by Muslim migrants at a time when the central government seems to be supportive of more conservative Islamic orthodoxy, while some migrants believe they face discrimination if not expulsion in a democratic system where Christians can exercise “tyranny of the majority”. The communal divide is overlain by a political one: many Christian Papuans believe autonomy has not gone nearly far enough, while many Muslim migrants see it as a disaster and are fervent supporters of centralised rule from Jakarta.

In some areas latent tensions have been kept under control by pairing a Papuan Christian district head with a non-Papuan Muslim deputy, with political and economic spoils divided accordingly. That may work in areas like Merauke, where the migrant population has already exceeded 50 per cent, but is not a solution where the majority feels itself under threat.

Where the risk of conflict is high, indigenous Papuan Muslims, largely concentrated in the Bird’s Head region of north western Papua, can play a bridging role, particularly through a new organisation, Majelis Muslim Papua. This organisation is both firmly committed to universal Islamic values and deeply rooted in Papuan culture and traditions. They have a demonstrated capacity to cool communal tensions, working with their Christian counterparts. But the indigenous Muslim community is being divided, too, as more and more have opportunties to study Islam outside Papua and come home with ideas that are at odds with traditional practices. It would be in the interests of all concerned to support a network of state Islamic institutes in Papua that could produce a corps of indigenous religious scholars and reinforce the moderation long characteristic of Papuan Muslims.

Several mechanisms are available for dialogue among religious leaders in Papua, including the working group on religion of the Papuan People’s Council (Maje­lis Rakyat Papua, MRP), a body set up to preserve Papuan rights and traditions, but they do not necessarily have any impact at the grassroots. More effective might be programs designed to identify com­munal hotspots and work out non-religious programs that could benefit both communities.

Jakarta/Brussels, 16 June 2008

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.