Report / Asia 2 minutes

Indonesia: Akibat Fatal dari Pemolisian yang Buruk

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan ikhtisar

Masyarakat di Indonesia semakin memilih jalan kekerasan dalam membalas tindakan atau wacana kekerasan dari aparat kepolisian. Sekitar 40 aksi penyerangan terhadap markas dan anggota polisi sejak bulan Agustus 2010 merupakan bukti nyata bahwa pemolisian masyarakat (community policing), yang menjadi andalan dari agenda reformasi kepolisian, tidak berjalan dengan baik; aparat polisi terlalu cepat melepaskan tembakan, biasanya dengan peluru tajam; dan proses akuntabilitas polisi masih lemah maju. Sementara itu dengan tidak adanya urgensi untuk pembenahan dan kurangnya mekanisme untuk menanggapi keluhan masyarakat setempat, kemarahan publik menjadi semakin mungkin untuk meningkat. Polisi yang seharusnya membantu pencegahan konflik kini terlalu sering berkontribusi terhadap pecahnya kerusuhan. 

Terdapat berbagai kendala budaya, struktural, individu, finansial dan pendidikan yang menghambat perubahan perilaku polisi. Dari awal, banyak pelamar masuk kepolisian dengan niat mendapatkan kekuasaan dan uang, dan ketika mereka sudah menjadi aparat, tidak banyak menemukan insentif, baik itu finansial maupun profesional, untuk membangun hubungan baik dengan masyarakat yang seharusnya mereka layani. Kebijakan-kebijakan mengenai pemolisian masyarakat yang dikeluarkan tahun 2005 dan 2008 belum meresap ke tingkat kepolisian sektor (polsek) dan apabila ada petugas di lapangan yang peduli untuk membangun hubungan baik dengan masayarakat, mereka memiliki dampak yang terbatas karena seringnya dirotasi.

Tindakan anarkis masyarakat terhadap polisi merupakan tanggapan terhadap banyak hal yang terakumulasi seperti aksi brutal polisi, seringnya permintaan uang oleh aparat, arogansi petugas dan kurangnya akuntabilitas, terutama ketika tembakan polisi memakan korban jiwa. Kegagalan untuk menginvestigasi atau menghukum oknum yang melakukan pelanggaran cenderung memicu aksi massa, yang seringkali sampai tindakan pembakaran. Sementara itu, perlawanan masyarakat terhadap upaya polisi untuk menangkap pelaku kerusuhan meningkat apabila oknum polisi yang melakukan pelanggaran dibiarkan melenggang.

Masalah ini diperumit oleh kenyataan bahwa mereka yang bertugas di polsek adalah lulusan Sekolah Polisi Negara dimana pelatihan penggunaan senjata api and pengajaran mengenai pemolisian masyarakat belum mencapai standard yang baik. Dalam banyak kasus kekerasan terhadap polisi, akhirnya pejabat daerah setempat yang terbebani untuk menegosiasikan jalan keluar dalam perselisihan antara polisi dan masyarakat karena tidak ada mekanisme institusional yang tersedia untuk menjawab ketidakpuasan masyarakat.

Laporan ini mengkaji secara detil tiga kasus tindak anarkis masyarakat terhadap institusi kepolisian yang terjadi di tahun 2010 dan 2011. Semua berawal dari kemarahan masyarakat terhadap buruknya tindakan polisi yang menggunakan kekerasan yang berlebihan.

Di Buol, Sulawesi Tengah, warga menyerang dan menghancurkan fasilitas dan perumahan kepolisian sehingga keluarga aparat yang bertugas di Buol terpaksa diungsikan setelah tujuh warga tewas terkena tembakan petugas dalam sebuah unjuk rasa atas kematian seorang pemuda dalam tahanan polisi. Aparat kepolisian yang terlibat memang diadili, suatu hal yang jarang terjadi, namun itu karena banyaknya jumlah korban tewas mendatangkan sorotan media. Satu petugas mendapat vonis tidak bersalah dan dua lainnya menerima hukuman lunak, sedangkan duapuluhan aparat menerima sanksi disiplin. Masih begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab dalam kasus ini.

Di Kampar, Riau, warga mengepung dan menyerang markas Polsek Kampar akibat petugas melakukan salah tangkap dan memukul seorang pedagang yang dihormati karena ketaqwaannya di sebuah pasar. Polisi menuduhnya terlibat judi togel, karena mendapatinya menulis sejumlah angka di sebuah kertas, padahal ia sedang mencatat harga dan nomor seri dagangannya. Penangkapan yang sepele seperti ini sering terjadi karena petugas mendapat penghargaan apabila menunjukkan statistik kejahatan yang dianggap bagus. Contohnya: semakin banyak penangkapan, tak peduli tingkat kejahatannya, semakin baik mereka dilihat dalam melakukan tugasnya.

Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, warga menyerang markas polsek setelah sejumlah aparat kepolisian menggerebek orang yang diduga berjudi dalam sebuah resepsi pernikahan mengakibatkan satu orang tewas. Petugas yang melakukan penggerebekan itu dari Polres Jeneponto bukan Bantaeng karena memang lokasi pesta memang ada di Jeneponto walau dekat perbatasan dengan Bantaeng. Massa menyerang polsek di dalam wilayah Polres Bantaeng karena lokasinya yang dekat dengan kejadian dan korban tewas berasal dari Bantaeng. Petugas merasa terpaksa melepaskan tembakan karena para tamu marah atas penangkapan yang mereka lakukan terhadap para penjudi, dan situasinya membahayakan bagi keselamatan jiwa komandan mereka. Padahal tampaknya mereka menembak sembarangan di kegelapan tanpa bisa melihat apa sasarannya.

Insiden-insiden diatas merupakan simbol masalah yang lebih luas; pemerintah Indonesia harus berhenti memperlakukan kasus-kasus ini seakan fenomena yang tidak berkaitan. Mereka sebaliknya mewakili sebuah kegagalan sistematik yang akan terus merongrong kredibilitas ikrar polisi untuk “melayani dan melindungi” masyarakat. Mereka akan terus memicu semakin banyak kekerasan yang dapat menelan korban jiwa apabila sebab-sebab yang mendasari tindak anarkis masyarakat tidak ditangani.

Jakarta/Brussels, 16 February 2012

Executive Summary

Indonesian communities are increasingly turning to violence to retaliate against the police for abuses, real or perceived. Some 40 attacks on police stations and personnel since August 2010 are clear evidence that community policing, the centrepoint of the police reform agenda, is not working; police are too quick to shoot, usually with live ammunition; and little progress has been made toward police accountability. In the absence of urgent reforms and mechanisms to address local grievances, public hostility is likely to grow. Police are supposed to be helping prevent conflict but too often they are contributing to its outbreak.

Cultural, structural, individual, financial and educational barriers within the institution hinder behavioural change. Applicants join the police to wield power and earn money, and once on the force, there are few incentives, financial or professional, to build rapport with the communities they are supposed to serve. Policy directives on community policing from 2005 and 2008 have not trickled down to the sub-district precincts (kepolisian sektor, polsek), and those field officers who are committed to building good relations have limited impact because of frequent rotations.

Community hostility is the cumulative result of police brutality; unwarranted demands for money; perceived arrogance; and lack of accountability, especially in cases of fatal shootings. Failure to investigate or punish errant officers triggers mob action, often involving arson, while community resistance to the arrest of those responsible for such violence intensifies if the police in question go free.

The problem is compounded by the staffing of precincts with poorly-trained graduates of provincial police schools who receive inadequate firearms training, let alone instruction in community policing. In many cases, local elected officials have to take on the burden of negotiating a way out of the police-community standoff because there are no available institutional mechanisms to resolve grievances.

This report looks in detail at three cases of community attacks on police stations that occurred in 2010 and 2011. All started from complaints about excessive use of force.

In Buol, Central Sulawesi, citizens destroyed police facilities and forced police families to leave town after seven men were shot dead during a mass protest against the death of a teenager in police custody. This is one of the few cases in which officers were brought to court, but only because of the high death toll and media attention. One was acquitted, two were given slap-on-the-wrist sentences, and some two dozen others faced minor disciplinary sanctions. Many questions remain unanswered.

In Kampar, Riau, residents vandalised a precinct after the arrest and beating of an innocent clan elder at a market. He was accused of illegal gambling because he was jotting numbers on a piece of paper, when in fact he was noting product prices. Trivial arrests like this frequently occur because police are rewarded for favourable crime statistics: the more arrests they make, regardless of the severity of the crime, the better they are seen to be doing their job.

In Bantaeng, South Sulawesi, villagers attacked a precinct after a deadly police raid on alleged gamblers at a wedding party that killed one. The raiders did not come from that precinct, but it was the nearest one to the dead man’s home. Police claim they opened fire because they believed anger among the wedding guests over the gambling arrests put their commander’s life in danger. In fact they seem to have shot wildly in the dark without being able to see what they were shooting at.

These incidents are emblematic of a much broader problem; the Indonesian government should stop treating them as isolated incidents. They represent a systemic failure which will continue to undermine the credibility of the police pledge to “serve and protect” the people and encourage further deadly violence unless the underlying causes of community hostility are addressed.

Jakarta/Brussels, 16 February 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.