Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Debat Mengenai Rancangan Undang-Undang Intelijen Yang Baru

RINGKASAN IKHTISAR

Sebuah Rancangan Undang Undang (RUU) yang kontroversial yang berusaha mengatur peran dan fungsi lembaga-lembaga intelijen di Indonesia saat ini menjadi prioritas utama dalam pembahasan Dewan Perwakilan Rakyat RepubIik Indonesia (DPR RI). Sebelumnya dijadwalkan untuk ditetapkan menjadi UU pada bulan Juli 2011, namun sekarang ditunda hingga bulan September atau Oktober. Pengesahan RUU ini sebaiknya ditunda lebih lama lagi sampai ada penilaian yang lebih komprehensif mengenai kebutuhan keamanan di Indonesia dan bagaimana menanganinya. 

Kontroversi RUU ini berkitar di tiga isu, yaitu: apakah Badan Intelijen Negara atau BIN perlu memiliki kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan; apakah penyadapan dan intersepsi komunikasi lainnya memerlukan ijin pengadilan; dan bagaimana menjamin pengawasan dan mekanisme pertanggunganjawaban yang konsisten dengan tata pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil posisi yang paling keras, dengan mendukung kewenangan yang lebih besar dan pengawasan yang lebih sedikit, bahkan lebih dari yang diharapkan BIN sendiri. Sementara itu, para pendukung HAM dan LSM-LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), termasuk kelompok-kelompok Muslim garis keras, berada di ujung spektrum yang lain, khawatir Indonesia kembali ke praktek-praketek otoriter masa lalu. Di tengah-tengah adalah para anggota DPR yang memprakarsai RUU ini dengan itikad baik yang kebanyakan bertekad untuk melawan tekanan dari pemerintah, tapi merasa LSM-LSM agak berlebihan.

Perdebatan ini berlangsung dalam konteks dimana ancaman utama terhadap negara Republik Indonesia didefinisikan berasal dari dalam negeri, yaitu: separatisme, terorisme dan sektarianisme. Akibatnya, sasaran penangkapan, penahanan dan penyadapan kebanyakan adalah warga negara Indonesia sendiri, dan banyak yang khawatir kombinasi kewenangan yang lebih besar dan pengawasan yang lemah menambah kemungkinan bahwa nantinya fungsi intelijen akan disalahgunakan sebagai alat kekuasaan politik dan dipakai untuk menangkap lawan-lawan politik seperti yang terjadi di masa lalu. BIN menolak argumentasi ini dengan mengatakan bahwa jaman sudah berubah dan tidak akan ada lagi praktek-praktek kejam. 

RUU yang sekarang ini diajukan setelah sebuah kegagalan upaya di tahun 2002 untuk meloloskan sebuah UU yang memperkuat aparat intelijen Indonesia. RUU itu, yang dirancang setelah serangan teroris tanggal 11 September 2001 di Amerika dan sebuah perubahan persepsi mengenai ancaman keamanan, menghadapi perlawanan yang kuat. Komunitas pembela HAM khawatir Indonesia akan kembali melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap kebebasan sipil; kelompok-kelompok Muslim garis keras melihat RUU ini ditujukan bagi mereka; dan lembaga-lembaga saingan, seperti Kepolisian RI yang menganggap BIN masuk wilayah kerja mereka. Akhirnya RUU ini tak diajukan. Upaya-upaya lanjutan oleh pemerintah untuk menghidupkan kembali RUU ini di tahun 2004 dan 2006 menghadapi perlawanan yang sama.

RUU yang kini dalam pembahasan mulanya dirancang pada akhir tahun 2010 dari niat yang lebih konstruktif. UU ini merupakan inisiatif beberapa anggota DPR yang baru saja terpilih yang memiliki latarbelakang intelijen. Mereka prihatin bahwa BIN masih menjadi satu-satunya badan keamanan utama di era reformasi yang tidak memiliki perundang-undangan yang mendukung. Mereka ingin ada koordinasi yang lebih baik diantara lembaga-lembaga intelijen sehingga mereka bisa saling berbagi yang lebih banyak di dan perlindungan yang lebih ketat untuk menghindari kegiatan-kegiatan intelijen liar.

Pihak masyarakat sipil khawatir dengan sejarah BIN yang kurang memiliki akuntabilitas, seperti halnya lembaga-lembaga keamanan lain, dan menginginkan lebih banyak pengawasan dari parlemen dan institusi hukum. Mereka juga menginginkan perubahan struktural yang besar dan susunan personel intelijen yang berasal seluruhnya dari sipil, kecuali dalam badan intel militer.

Pada bulan Maret 2011, pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah RUU. Mereka tidak menginginkan adanya perubahan dalam struktur maupun pengawasan, dan mendukung pemberian wewenang kepada BIN untuk melakukan penahanan preventif dan interogasi “intensif”. Sebuah proses tawar menawar antara pemerintah dan DPR sedang berlangsung saat ini.

Akan tetapi, sejalan dengan perdebatan atas RUU saat ini, sedang dilakukan usaha-usaha pembuatan UU sektor keamanan lainnya, termasuk RUU Keamanan Nasional dan beberapa amandemen yang akan memperkuat UU Anti Terorisme. Tidak adanya cetak biru atau rencana induk yang koheren bagi struktur keamanan di Indonesia dan cara yang sepotong-sepotong dalam pembuatan perundang-undangan di sektor keamanan dapat memperburuk persoalan pembagian kerja yang sudah kurang jelas dan tanggungjawab yang tumpang tindih. Ini persoalan tambahan di luar masalah di dalam RUU Intelijen itu sendiri.

Dibawah situasi semacam ini, menetapkan RUU ini secara tergesa-gesa menjadi UU bukanlah ide yang baik. Mundur sejenak dan berpikir lebih dalam mengenai bagaimana menyeimbangkan kebutuhan keamanan Indonesia dengan komitmennya terhadap nilai-nilai demokrasi perlu menjadi kepentingan semua pihak yang terkait.
 

I. Overview

A controversial bill defining the role and functions of Indonesian intelligence agencies has top priority in the Indonesian parliament. It was originally scheduled for enactment in July 2011 but will now be delayed until September or October. It would be better to put the bill on hold even longer until there is a more comprehensive assessment of security needs and how to address them.

The controversy centres around three issues: whether the State Intelligence Agency (Badan Intelijen Negara, BIN) should have arrest and detention powers; whether wiretapping and other intercepts should require a court order; and how to ensure oversight and accountability mechanisms consistent with democratic governance. The administration of President Susilo Bambang Yudhoyono is taking the hardest line, arguing for more powers and less oversight than even BIN itself sees as desirable. Human rights advocates and civil society organisations, including hardline Muslim groups, are at the other end of the spectrum, fearing a return to authoritarian practices of the past. In the middle are the parliamentarians who initiated the law with good intentions, most of whom are determined to resist government pressure but feel the NGOs are going too far.

The debate is taking place in a context where the main threats to the Indonesian state are defined as internal: separatism, terrorism and sectarianism. As such, the targets of arrest, detention or wiretapping would be overwhelmingly Indonesian nationals, and many fear that the combination of enhanced powers and weak oversight raises the spectre of a politicised intelligence agency being used in the future as it was in the past to crack down on domestic enemies. BIN rejects these arguments, saying times have changed and there will be no return to abusive practices.

The current bill follows an unsuccessful effort in 2002 to pass a law strengthening Indonesia’s intelligence apparatus. That bill, drafted in the wake of the 11 September 2001 terrorist attacks in the U.S. and a changed perception of the security threat, encountered stiff resistance. The human rights community was worried about backsliding on civil liberties; hardline Muslim groups saw the bill aimed at themselves; and rival agencies, such as the police, saw BIN encroaching on its turf. It was eventually shelved. Subsequent efforts by the government to revive the bill in 2004 and 2006 encountered similar opposition.

The law now under discussion, drafted in late 2010, had a more constructive genesis, as it was the initiative of a few newly elected legislators with intelligence backgrounds who were concerned that BIN was the only major security agency in the post-Soeharto era to lack a supporting legal framework. They wanted better coordination among security agencies, more information-sharing and more safeguards against rogue activities.

Civil society groups were concerned about the historic lack of accountability in BIN, as in other security agencies, and wanted more judicial and parliamentary oversight. They also wanted major structural changes and staffing restricted to civilians, except in the military intelligence body.

In March 2011, the government submitted a list of objections to the draft. It wanted no changes in structure or supervision and argued for giving BIN powers of preventive detention and “intensive” interrogation. A process of bargaining between the government and parliamentarians is underway.

Debate over the bill is taking place, however, as other security legislation is in the works, including a national security bill and amendments that would strengthen the anti-terrorism law. The lack of a coherent blueprint for Indonesia’s security apparatus and the piecemeal approach to legislation may result in worsening the problem of unclear divisions of labour and overlapping responsibilities – quite apart from the problems of the intelligence law itself.

Under such circumstances, there is no good reason for ramming through the intelligence bill. Taking a step back and thinking more about how to balance Indonesia’s security needs with its commitment to democratic values should be in the interests of all concerned.

Jakarta/Brussels, 12 July 2011

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.