Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Pembangkangan Terhadap Negara

I. Ringkasan ikhtisar

Saat ini terdapat institusi-institusi di daerah yang berani membangkang pengadilan tertinggi di Indonesia setelah mereka terberdayakan oleh desentralisasi. Hal ini telah mengurangi kewibawaan otoritas kehakiman dan membuat konflik lokal terus memburuk. Bupati, walikota, komisi pemilihan umum dan dewan di daerah menyadari bahwa ternyata ketidakpatuhan terhadap keputusan pengadilan yang terkait dengan urusan pemilu atau agama tidak beresiko sehingga mereka cenderung memilih untuk mengikuti kemauan konstituen dan pressure groups setempat. Kepemimpinan tegas dari presiden seharusnya dapat mengubah hal ini, namun yang ada adalah sebaliknya yaitu: tanggapan yang lambat dan tidak efektif dari Jakarta yang hanya memperluas ruang bagi pembangkangan. Apabila daerah menjadi terlalu percaya diri dengan kewenangan barunya dan pemerintah pusat terus menanggapi hal ini dengan lemah, kurangnya komitmen untuk menjunjung hukum akan membuka celah untuk konflik seiring dengan naiknya suhu politik menjelang pemilihan presiden 2014.

Masalah pembangkangan pejabat daerah terhadap pengadilan merupakan akibat langsung dari dua kebijakan yang diambil oleh Indonesia dalam proses demokratisasi paska reformasi 1998. Yang pertama adalah kebijakan desentralisasi tahun 1999 yang memberi otonomi politik dan fiskal kepada pemerintah kabupaten dan kota. Yang kedua yaitu diperkenalkannya pemilu kepala daerah (pemilu kada) secara langsung di tahun 2005, termasuk untuk posisi bupati dan walikota. Dua langkah ini penting bagi konsolidasi demokrasi di Indonesia, tapi kombinasinya telah menciptakan sebuah lapisan pejabat daerah yang sangat berkuasa yang tidak lagi merasa terikat dengan pusat atau merasa wajib mematuhi keputusan dari dua lembaga peradilan tertinggi di Indonesia.

Mahkamah Agung (MA) adalah lembaga peradilan yang memegang keputusan terakhir terhadap kasus-kasus perdata dan pidana. MA juga mengadili pada tingkat kasasi putusan yang diberikan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, yang melayani gugatan terhadap keputusan pejabat atau institusi negara. Mahkamah Konstitusi (MK) sejak tahun 2008 telah menjadi satu-satunya juru adil yang memutus sengketa hasil pemilihan umum. Kedudukan MA dan MK adalah sederajat; putusan MA dan MK bersifat final dan mengikat. Tapi ada hal yang kurang terkait keputusan kedua lembaga ini yaitu bagaimana putusan tersebut harus dieksekusi atau apa hukumannya apabila tidak dipatuhi.

Tiga kasus menggambarkan masalah yang timbul dari kekurangan tersebut. Pada bulan Juli 2010, Mahkamah Konstitusi mendiskualifikasi pemenang pemilu bupati Kotawaringin Barat dengan tuduhan politik uang, dan menetapkan petahana yang kalah sebagai pemenang sehingga dapat memangku masa jabatan untuk kedua kalinya. Putusan ini mungkin patut dipertanyakan, tapi demi kepentingan penegakan otoritas peradilan, putusan tersebut seharusnya segera dieksekusi. Tapi yang terjadi adalah dewan di kabupaten melihat putusan MK tersebut sebagai campur tangan Jakarta dalam pemilihan daerah sehingga menolak untuk mematuhinya. Dua tahun kemudian, bupati yang dimenangkan oleh MK ini masih tidak dapat memerintah karena penentangan itu. Di kota Bogor dan kabupaten Bekasi, propinsi Jawa Barat, pembangkangan serupa juga terjadi. Pejabat setempat menolak pembukaan gereja walaupun peradilan telah memutuskan tidak ada dasar untuk menyegel lokasi pembangunannya.

Di tiga kasusini, putusan pengadilan tidak meredam tensi sehingga menimbulkan ketegangan yang kadangkala bisa meletus menjadi kerusuhan. Dalam situasi-situasi ini, langkah paling jauh yang telah diambil oleh pemerintah pusat hanyalah mengutus perwakilan untuk mencoba menegosiasikan sebuah kompromi antara pihak yang bersengketa. Inipun baru dilakukan ketika sengketa telah menjadi sorotan media.

Demi tegaknya otoritas peradilan, presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif seharusnya melakukan lebih dari hanya menghimbau kompromi. Presiden punya perangkat lain yang bisa ia gunakan, seperti mengeluarkan keputusan presiden; menahan dana ke pemerintah daerah; lobi-lobi secara langsung dan memanfaatkan media secara strategis. Pembiaran terhadap pejabat daerah yang membangkang putusan peradilan tidak saja merusak prospek penyelesaian konflik lokal. Tetapi juga, memberi kesan bahwa kekuatan kelompok mayoritas dapat didahulukan di atas lembaga peradilan. Hal ini membuat massa lebih berani dan kelompok minoritas menjadi terancam karena merasa tidak bisa bergantung kepada perlindungan negara. Ini pada akhirnya melemahkan demokrasi di Indonesia.

I. Overview

Local institutions in Indonesia, empowered by decentralisation, are defying the country’s highest courts with impunity, undermining judicial authority and allowing local conflicts to fester. District councils, mayors and regional election commissions have learned that there is little cost to ignoring court rulings on electoral or religious disputes, pandering instead to local constituencies and pressure groups. Decisive leadership from the president could make a difference; instead, slow and ineffective responses from Jakarta brew more insubordination. If the regions become overconfident in their new powers and the central state continues to respond weakly, this lack of commitment to rule of law could encourage more conflict as the national political temperature rises ahead of the 2014 presidential election.

The problem of local officials defying the courts is a direct result of two steps taken by Indonesia in its post-1998 drive toward democratisation. One was its “big bang” decentralisation in 1999 that devolved political and fiscal power down to sub-provincial units: districts (kabupaten) and cities/municipalities (kota). The second was the introduction in 2005 of direct elections for local executives, including district heads (bupati) and mayors (walikota). Both were essential for the consolidation of Indonesian democracy, but the combination has made for a very powerful stratum of local authorities which feel neither beholden to the central government nor always compelled to comply with rulings from the nation’s top two courts.

The Supreme Court (Mahkamah Agung) is the court of final appeal for most civil and criminal cases; it also hears appeals on cases decided by the state administrative courts (Pengadilan Tata Usaha Negara), which rule on complaints against decisions taken by state officials or institutions. The Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi) since 2008 has become the sole arbiter of election results that are disputed at the local level. The Supreme Court and the Constitutional Court are equals; decisions of both are final and binding. But a clear policy is missing on how those rulings should be enforced or an obvious penalty for failing to comply.

Three cases illustrate the point. In West Kotawaringin district, Central Kalimantan province, the Constitutional Court in July 2010 disqualified the winner of the district’s local election on vote-buying allegations and ruled that the defeated incumbent should get a second term. It may have been a questionable decision, but for the sake of reinforcing judicial authority, it should have been enforced. The local district council, however, saw the ruling as an intrusion by Jakarta in a local race and refused to accept it. More than two years later, the bupati who was awarded the victory by the court still cannot govern because of local resistance. In Bogor city and Bekasi district in West Java province, local officials have refused to allow the construction of churches despite court rulings that there were no grounds for sealing off the disputed building sites.

In all three cases, as tensions left unresolved by the rulings threatened to – and occasionally did – erupt into violence, the best the central government could do was to send an official to try and negotiate a compromise between contending parties and even then, Jakarta only reacted when the dispute made national headlines.

But if courts are to have any authority at all, the president, as chief executive, needs to do more than urge compromise. He has other tools at his disposal: issuing presidential decrees; withholding funds from local authorities; direct personal lobbying and making strategic use of the media. Allowing local officials to defy the courts is not just hurting the prospects of local conflict resolution. It sends the message that the power of the majority can take precedence over institutions of justice in a way that emboldens mobs, threatens minorities that feel they cannot depend on the state for protection, and ultimately undermines Indonesia’s democracy.

Jakarta/Brussels, 30 August 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.