Report / Asia 3 minutes

Indonesia: Dinamika Kekerasan di Papua

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan ikhtisar

Serangkaian kekerasan yang terjadi di Papua selama bulan Mei dan Juni 2012 telah mengungkap ketiadaan strategi pemerintah yang koheren dalam menangani konflik multidimensi ini. Peristiwa penembakan terhadap warga non- Papua di Jayapura pada bulan Juni yang kemungkinan melibatkan para militan pro-kemerdekaan, yang kemudian disusul oleh kematian salah seorang militan tersebut di tangan polisi, menyingkap dimensi politik dari masalah ini. Di Wamena, aksi sejumlah tentara yang mengamuk setelah kematian rekan mereka memperlihatkan dalamnya rasa saling tidak percaya antara masyarakat lokal dan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan tidak adanya mekanisme dalam menanggulangi krisis. Kekerasan yang terkait dengan sumber kekayaan alam Papua terkuak dalam peristiwa penembakan di wilayah pertambangan emas terpencil Paniai . Sementara kejadian-kejadian ini masih dalam investigasi, mereka memberi indikasi bahwa apabila pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat menangani aspek-aspek yang sangat berbeda dalam masalah keamanan di Papua ini, keadaan mungkin bisa menjadi lebih buruk. Salahsatu solusi yang mungkin bisa menolong adalah perombakan kebijakan keamanan.

Ada dua faktor yang mendorong sebagian dari kekerasan di Papua belakangan ini. Pertama, berbagai ketidakpuasan yang dirasakan oleh masyarakat Papua terhadap pemerintah pusat. Kedua, beberapa aspek dari kebijakan keamanan yang kelihatannya bertentangan dengan niat pemerintah untuk membangun kepercayaan, mempercepat pembangunan dan merealisasikan tujuan dari UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Propinsi Papua. Hingga hari ini, UU Otsus belum menghasilkan manfaat yang nyata bagi kehidupan sebagian besar masyarakat dan belum juga memperbaiki hubungan antara Papua dengan pemerintah pusat. Substansinya selama ini kerap diperlemah oleh Jakarta, meskipun para anggota DPRD Papua juga bertanggungjawab karena gagal menetapkan peraturan-peraturan pelaksana yang diperlukan.

Jika Papua punya institusi politik yang efektif sekalipun, masalah-masalah ini sudah cukup sulit untuk dikelola. Realitanya, pemerintah maupun DPRD di tingkat propinsi dan kabupaten di Papua nyaris tidak berfungsi. Seorang pejabat gubernur telah ditunjuk bulan Juli 2011 namun ketidakefektifannya telah membawa pemerintah propinsi Papua ke dalam keadaan tidak menentu. Sementara, penyelenggaraan pilkada terhambat oleh DPRD Papua yang telah memfokuskan hampir dari seluruh energinya untuk menghalangi gubernur petahana untuk maju dan merebut kontrol KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) terhadap beberapa bagian dalam proses pilkada melalui jalur hukum. Keadaan juga suram di tingkat kabupaten. Situasi ini membuat pemerintah pusat tak punya mitra yang aktif di Papua dan rakyat Papua tak punya saluran resmi untuk menyampaikan kekhawatiran mereka ke Jakarta.

Peran dari sebuah badan baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Di Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk bulan September 2011, semakin lama kelihatannya hanya terbatas menangani urusan ekonomi, dimana unit ini akan mengalami kesulitan memperlihatkan kemajuan yang nyata dalam jangka pendek. Harapan bahwa UP4B mungkin bisa memainkan peran politik di belakang layar dalam mendorong dialog antara rakyat Papua dan pemerintah pusat atau tentang kesusahan di Papua pun semakin memudar, karena kini menjadi semakin jelas bahwa dialog memiliki arti yang berbeda bagi orang yang berbeda. Upaya-upaya untuk membangun sebuah konsensus tentang dialog telah mengalami kemunduran akibat kekerasan yang terjadi, karena pemerintah enggan untuk mengambil langkah apapun yang bisa dilihat sebagai konsesi politik di bawah tekanan – apalagi terhadap daerah sesensitif Papua.

Tantangannya buat pemerintah adalah untuk menemukan sebuah strategi jangka pendek yang dapat mengurangi kekerasan sambil terus mencari sebuah kebijakan yang akan membawa manfaat-manfaat sosial, ekonomi dan politik jangka panjang dan menangani ketidakpuasan yang sudah lama dirasakan. Strategi tersebut harus melibatkan perubahan-perubahan yang jelas dan nyata dalam pengawasan, kontrol dan akuntabilitas terhadap polisi dan TNI. Tentu, aparat keamanan bukan satu-satunya masalah. Polisi dan tentara juga tidak selalu menjadi pelaku kekerasan; banyak dari mereka juga telah menjadi korban. Tapi mereka telah menjadi simbol atas segala sesuatu yang salah dengan penanganan Jakarta terhadap konflik Papua. Oleh karena itu, sebuah perubahan dalam kebijakan keamanan menyodorkan harapan paling baik bagi sebuah “quick win” yang dapat memperbaiki dinamika politik dan menghentikan Papua merosot ke arah kekerasan lebih lanjut.

Jakarta/Brussels, 9 Agustus 2012

Executive Summary

A spate of violence in Papua in May and June 2012 exposed the lack of a coherent government strategy to address this multidimensional conflict. Shootings of non-Papuans in the provincial capital Jayapura in June, likely involving pro-independence militants, were followed by the death of one of those militants at police hands, highlighting the political dimension of the problem. In Wamena, a rampage by soldiers after the death of a comrade shows the depth of distrust between local communities and the army, and the absence of mechanisms to deal with crises. The shooting of five Papuans by newly arrived members of a paramilitary police unit (Brigade Mobile, Brimob) in a remote gold-mining area of Paniai highlights the violence linked to Papua’s vast resource wealth and rent-seeking by the security apparatus with little oversight from Jakarta. While these events are still under investigation, they signal that unless the Yudhoyono government can address these very different aspects of the conflict, things may get worse. An overhaul of security policy would help.

Two factors are driving much of the violence: a wide range of Papuan grievances toward the Indonesian state and a security policy that seems to run directly counter to the government’s professed desire to build trust, accelerate development and ensure that a 2001 special autonomy law for Papua yields concrete benefits. To date the law has failed to produce either improvement in the lives of most Papuans or better relations with the central government. Its substance has been frequently undercut by Jakarta, although provincial lawmakers also bear responsibility for failing to enact key implementing regulations. One of the last measures to prompt accusations in Papua of Jakarta’s bad faith was the 2011 division into two of the Papuan People’s Council (Majelis Rakyat Papua, MRP), an institution set up under the law to safeguard Papuan values and culture that was supposed to be a single body, covering all of Papua. In many ways the MRP was the keystone of special autonomy but it has been plagued by problems since its much-delayed establishment; the division, with Jakarta’s active endorsement, has further reduced its effectiveness.

These problems would be hard enough to manage if Papua had functioning political institutions, but it does not. An ineffectual caretaker governor appointed in July 2011 has left the Papuan provincial government in limbo. Meanwhile, the organisation of a new election has been stymied by a provincial legislature that has focused most of its energy on blocking the former governor from running and vying in national courts with the local election commission for control over parts of the electoral process. The picture is just as grim at district level. This leaves the central government without an engaged partner in Papua, and Papuans without a formal channel for conveying concerns to Jakarta.

The role of a new policy unit – the Unit for Accelerated Development in Papua and West Papua, known by its Indonesian abbreviation of UP4B – established in September 2011, increasingly appears limited to economic affairs, where it will struggle to show visible progress in the short term. Hopes that it might play a behind-the-scenes political role in fostering dialogue on Papuan grievances are fading, as it becomes increasingly clear that dialogue means different things to different people. Efforts to hammer out some consensus on terms and objectives have been set back by the violence, as the government is reluctant to take any steps that might be perceived as making concessions under pressure.

The challenge for the government is to find a short-term strategy that can reduce violence while continuing to work out a policy that will bring long-term social, economic and political benefits and address longstanding grievances. That strategy must involve clear and visible changes in the administration, control and accountability of both the police and military. The security apparatus is not the only problem, nor are police and soldiers always the perpetrators of violence; many have been victims as well. But they have come to symbolise everything that has gone wrong with Jakarta’s handling of the Papuan conflict. It therefore follows that a change in security policy is the best hope for a “quick win” that can transform the political dynamics and halt the slide toward further violence.

Jakarta/Brussels, 9 August 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.