Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Harapan Dan Kenyataan di Papua

Ringkasan Ikhtisar

Meskipun konflik Papua belakangan ini makin sulit dicari jalan keluarnya, tapi beberapa ide solusi saat ini sedang dibahas. Kekerasan yang meningkat di bulan Juli dan Agustus menegaskan kebutuhan yang mendesak untuk menjajaki ide-ide solusi tersebut. Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sebaiknya segera bertindak untuk mengesahkan pembentukan sebuah badan baru bernama Unit Percepatan Pembangunan Di Papua Dan Papua Barat (UP4B) yang sudah lama ditunda dengan mandat yang mencakup masalah politik. Unit ini harus memperhatikan serangkaian indikator politik, sosial, ekonomi, hukum dan keamanan yang dihasilkan oleh sebuah Konferensi Perdamaian Papua pada Juli lalu yang bisa menjadi kerangka kerja bagi kebijakan-kebijakan yang lebih tercerahkan. Bersama-sama, mereka melambangkan sebuah visi akan seperti apa Papua yang damai nantinya. Para peserta yang merancang ide-ide solusi bagi persoalan di Papua ini hampir semuanya dari masyarakat sipil Papua. Agar perubahan nyata bisa terjadi, perlu ada dukungan tidak saja dari Jakarta tapi juga dari para pejabat setempat asli Papua – yang sekarang ini jumlahnya semakin banyak – yang punya pengaruh dan sumber daya di tingkat lokal.

Aspirasi yang disuarakan selama konferensi sangat kontras dengan kenyataan meningkatnya konflik di kabupaten pegunungan Puncak Jaya, sebuah wilayah terpencil yang didera oleh pemberontakan, korupsi dan kemiskinan. Puncak Jaya merupakan rumah bagi Tentara Pembebasan Nasional (TPN), sayap militer dari organisi pro-kemerdekaan Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sejumlah faktor yang kompleks mendorong timbulnya gerakan pemberontakan, termasuk ketidakadilan sejarah, tindakan kekerasan dari TNI dan Polri, maupun persaingan dan perpecahan, kadang berbasis klan, diantara para pemberontak sendiri. Kekerasan di Papua membantu memicu aktivisme lokal dan sebuah gerakan solidaritas internasional, yang pada gilirannya memicu rasa antipati di Jakarta terhadap langkah apapun ke arah resolusi konflik yang mencakup pembahasan ketidakpuasan politik. Hal ini juga menyebabkan pembatasan akses bagi organisasi-organisasi asing kemanusiaan dan pembangunan.

Konferensi pada 5 hingga 7 Juli itu bermaksud untuk merubah pola ini. Buah dari upaya-upaya di belakang layar selama dua tahun oleh sebuah kelompok bernama Papua Peace Network (Jaringan Damai Papua), konferensi ini adalah sebuah latihan dalam memformulasikan isu-isu yang kemudian bisa didiskusikan dengan pemerintah di Jakarta dengan cara yang dipikir oleh beberapa orang bisa menjauhkan kata “M” (merdeka). Tapi hal ini tidak berjalan seperti yang direncanakan oleh panitia. Pejabat senior pemerintah menawarkan “komunikasi konstruktif” informal tanpa menjelaskan secara rinci apa yang mereka maksud. Para aktivis merespon dengan sebuah tuntutan bagi dialog yang jauh lebih formal, dengan pemerintah Indonesia dan para negosiator pro-kemerdekaan Papua duduk berhadap-hadapan di meja negosiasi, dan dimediasi oleh pihak ketiga yang netral dari dunia internasional. Dan bukannya menjembatani, konferensi ini malah menegaskan dalamnya jurang perbedaan persepsi antara para pejabat pusat dan masyarakat sipil Papua mengenai sifat konflik yang terjadi di Papua.

Pemerintah SBY, sejauh ini amat lambat untuk mengembangkan sebuah kebijakan yang tepat. Selama setahun terakhir, muncul gagasan untuk membentuk sebuah unit khusus yang berbasis di kantor wakil presiden untuk menangani masalah Papua yang disebut Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat atau UP4B. Pada awalnya unit ini dibentuk sebagai sebuah badan untuk mengimplementasikan proyek-proyek pembangunan “quick win”, dan kelihatannya pada awal tahun 2011 UP4B mulai memperoleh mandat yang lebih luas, sehingga bisa menangani isu-isu yang lebih sensitif seperti masalah-masalah terkait tanah, sejarah, konflik dan HAM. Tapi sebuah rancangan Peraturan Presiden (PP) untuk mengesahkan pembentukan UP4B masih tersangkut di meja Sekretaris Kabinet sejak bulan Mei, dan tidak ada indikasi kapan akan diserahkan ke presiden untuk ditandatangani. Tanpa UP4B, kesempatan akan adanya perubahan positif di dalam kebijakan pemerintah menjadi sangat berkurang, membuat perkembangan yang terjadi di Puncak Jaya menjadi simbol bagi aktivis di dalam dan luar Indonesia atas segala sesuatu yang salah di Papua.

Jakarta/Brussels, 22 Agustus 2011

I. Overview

The conflict in Indonesian Papua continues to defy solution, but some new ideas are on the table. A spike in violence in July and August 2011 underscores the urgency of exploring them. The government of President Susilo Bambang Yudhoyono should move quickly to set up a long-delayed new Papua unit with a mandate that includes political issues. That unit should look at a set of political, social, economic, legal and security indicators produced in July by a Papua Peace Conference that could become a framework for more enlightened policies. Taken together, they represent a vision of what a peaceful Papua would look like. The conference participants who drafted them, however, were almost all from Papuan civil society. For any real change to take place, there needs to be buy-in not just from Jakarta but from the increasingly large constituency of Papuan elected officials who have influence and resources at a local level.

The aspirations voiced during the conference contrast sharply with the reality of escalating conflict in the highland district of Puncak Jaya, a remote region wracked by insurgency, corruption and some of the worst poverty in Indonesia. It is home to one of the most active units of the pro-independence National Liberation Army (Tentara Pembebasan Nasional, TPN) of the Free Papua Organisation (Organisasi Papua Merdeka, OPM). A complex set of factors feeds the insurgency, including a sense of historical injustice, harsh actions by security forces, and competition and factionalism, sometimes clan-based, among the fighters themselves. Violence there helps fuel local political activism and an international solidarity movement, which in turn fuels antipathy in Jakarta to any steps toward conflict resolution that involve discussion of political grievances. It also leads to restrictions on access by foreign humanitarian and development organisations.

The conference on 5-7 July was meant to break that pattern. The fruit of two years of behind-the-scenes labour by a group called the Papua Peace Network, it was to be an exercise in formulating issues that could then be discussed with the government in Jakarta in a way that some thought might keep the “M” word – merdeka (independence) – at bay. It did not work out quite as the organisers had planned. Top government officials offered informal “constructive communication”, without specifying what they had in mind; activists responded with a demand for a much more formal dialogue, with the Indonesian government sitting across the table from Papuan pro-independence negotiators, mediated by a neutral international third party. Instead of building bridges, the conference underscored the depth of the gulf in perceptions between Jakarta-based officials and Papuan civil society about the nature of the conflict.

The government of President Yudhoyono, on Papua as on everything else, has been glacially slow to develop a policy that would be different from the default response of throwing cash at the problem and hoping it will go away. In mid-2010 the idea emerged of a special unit on Papua to be based in the vice-president’s office called the Unit for the Acceleration of Development in Papua and West Papua (Unit Percepatan Pembangunan di Papua dan Papua Barat, UP4B). Initially conceived as an agency to implement “quick win” development projects, it seemed by early 2011 to be gaining a wider mandate that could also allow it to address more sensitive issues related to land, conflict and human rights. A draft decree setting up UP4B has been on the Cabinet Secretary’s desk, however, since May and there is no indication when it will be sent to the president for signing. Without the new unit, the chance of any positive change in policy is much diminished, allowing developments in Puncak Jaya to stand as a symbol for activists inside and outside Indonesia of everything that is wrong in Papua.

Jakarta/Brussels, 22 August 2011

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.