Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Pengeboman Hotel

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Latar belakang

Pada 17 Juli 2009, pembom bunuh diri menyerang dua hotel tepat di pusat bisnis ibukota Jakarta, sedikitnya 9 tewas dan lebih dari 50 orang terluka. Inilah serangan pertama terhadap sasaran asing dalam kurun empat tahun terakhir. Meskipun tidak ada yang mengklaim siapa yang bertanggung jawab atas peristiwa ini, polisi yakin bahwa ini merupakan aksi dari Noordin Mohammed Top, yang memimpin kelompok sempalan dari Jemaah Islamiyah (JI), yaitu organisasi regional jihad yang bertanggung jawab atas Bom Bali I di tahun 2002. Sebelumnya, hotel Marriott juga pernah di bom oleh grup Noordin pada 2003; kali ini, yang menjadi target pemboman adalah para pebisnis asing yang sedang mengadakan pertemuan di hotel ini. Tak hanya itu, restoran di hotel Ritz-Carlton juga jadi sasaran peledakan.

Serangan ini adalah pukulan berat bagi usaha Indonesia melawan terorisme, meskipun tidak berdampak terlalu besar terhadap kondisi politik dan ekonomi Indonesia. Pada 23 Juli Presiden Yudhoyono dinyatakan sebagai pemenang pemilu 8 Juli dengan peraihan suara lebih dari 60 persen; pengeboman ini tidak akan melemahkan pemerintahannya atau menyebabkan krisis. Dampaknya terhadap dunia usaha, yang kehilangan empat tokoh pentingnya, sudah sangat terasa, tetapi indikator-indikator ekonomi semuanya tetap stabil.

Pertanyaan yang muncul apakah pengeboman itu akan terjadi lagi. Jika para pelaku dapat ditangkap secepatnya, warga Indonesia dan orang asing dapat bernapas lega, meskipun itu tak berarti bahwa sel-sel terorisme di Indonesia berhasil dilumpuhkan.. Jika Noordin Top berhasil lolos dari polisi lagi, seperti yang ia lakukan pada tujuh tahun belakangan ini, kecemasan akan terus mendera. Satu pertanyaan penting bagi polisi adalah bagaimana serangan tanggal 17 Juli dibiayai. Kemungkinan para pembom mencari dana sendiri, misalnya melalui perampokan bersenjata seperti yang dilakukan pada Bom Bali II pada Oktober 2005. Jika uang tersebut berasal dari bantuan luar negeri, kemungkinannya berasal dari al-Qaeda salah satu organisasi yg berafiliasi dengannya. Ini membuka kemungkinan bahwa pendonor luar tersebut bisa mencari kelompok teroris lain sebagai partner di Indonesia di masa mendatang, meskipun Noordin Top berhasil ditangkap. Kemungkinan ketiga adalah bantuan bisa berasal dari sumber orang Indonesia diluar grup Noordin sendiri.

Laporan ini memberikan beberapa jawaban atas pertanyaan yang sering dilontarkan, menyangkut aksi pengeboman hotel ini, seperti: dari mana Noordin Top berasal? Apa hubungannya dengan JI? Kenapa hotel-hotel itu menjadi sasaran? Apa artinya untuk program “deradikalisasi”? Serta apa tindakan tambahan pemerintah yang seharusnya dilakukan? Suatu langkah paling mudah tetapi paling tidak bijak adalah untuk mengganti Undang Undang Anti-Terorisme dengan semacam Internal Security Act ala Singapore atau Malaysia memperbolehkannya penahanan preventif tanpa batas. Lebih baik kalau Indonesia melanjutkan program “community policing” supaya masyarakat berani melapor hal-hal yg aneh kepada polisi; perhatian yang lebih kepada pesantren-pesantren yang berafiliasi kepada JI yang bersedia melindungi orang-orang seperti Noordin dan tempat dimana anggota baru bisa direkrut; pengertian lebih mendalam terhadapjaringan internasional; intelijen yang lebih baik serta dukungan lebih kuat bagi reformasi sistem lembaga pemasyarakatan.

Jakarta/Brussels, 24 Juli 2009

I. Overview

On 17 July 2009, suicide bombers attacked two hotels in the heart of a Jakarta business district, killing nine and injuring more than 50, the first successful terrorist attack in Indonesia in almost four years. While no one has claimed responsibility, police are virtually certain it was the work of Noordin Mohammed Top, who leads a breakaway group from Jemaah Islamiyah (JI), the regional jihadi organisation responsible for the first Bali bombing in 2002. One of the hotels, the Marriott, was bombed by Noordin’s group in 2003; this time, a meeting of mostly foreign businessmen appears to have been the target. The restaurant of the nearby Ritz-Carlton was also bombed.

The attack sets back Indonesia’s counter-terrorism efforts, but its political and economic impact has been minor. On 23 July President Yudhoyono was declared the winner of the 8 July elections with more than 60 per cent of the vote; nothing about the bombing is likely to weaken his government or prompt a crisis. The impact on the business community, which lost four prom­inent members, has been devastating, but economic indicators are stable.

The question everyone is asking is whether it will happen again. If the perpetrators are arrested quickly, Indonesians and expatriates will relax, although it will not necessarily mean the end of terrorist cells in Indonesia. If Noordin Top eludes police again, as he has for the last seven years, the nervousness will remain. One key question for the police to answer is how the operation was funded. It is possible the bombers raised the funds locally through armed robberies as they did for the October 2005 Bali bombing. If money came from an outside donor, a possible source would be al-Qaeda or its affiliates. This would open the possibility that outside donors could look for other Indonesian partners in the future, even if Noordin Top is behind bars. A third possibility is a donation from an Indonesian source outside the Noordin group itself.

This briefing provides answers to some frequently asked questions about the bombings: where did Noordin Top come from? What is his relation to JI? Why were these hotels targeted? What does this mean for the government’s deradicalisation program? And what additional measures should the government take? The easiest step and the most unwise would be to turn the anti-terrorism law into an internal security act that allowed for lengthy preventive detention. Instead, Indonesia needs continued attention to community policing, more attention to JI-affiliated schools that offer protection to men like Noordin and opportunities for recruitment, more understanding of international linkages, better intelligence and more support for prison reform.

Jakarta/Brussels, 24 July 2009

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.