Report / Asia 2 minutes

Indonesia: Reformasi Kepolisian Nasional

Ditengah eforia atas tumbangnya Orde Baru, ada harapan bahwa deklarasi dalam Undang-Undang 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dapat dihidupkan kembali setelah diabaikan selama 40 tahun.

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISAR

Ditengah eforia atas tumbangnya Orde Baru, ada harapan bahwa deklarasi dalam Undang-Undang 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dapat dihidupkan kembali setelah diabaikan selama 40 tahun. Namun eforia dengan cepat hambur ketika mulai terlihat skala sesungguhnya dari tantangan yang dihadapi dan kelemahan pemerintahan pertama yang terpilih secara demokrasi sejak tahun 1957.

Reformasi terhadap lembaga tertentu seperti Polisi Republik Indonesia tidak dapat diselenggarakan secara terpisah dari  lembaga kenegaraan lainnya. Angkatan polisi yang tangguh  akan dengan cepat menjadi impoten apabila jaksa, hakim, dan kepala lembaga kemasyarakatan gagal menjalankan tanggung jawab mereka masing-masing. Demikian pula, penyelenggaraan reformasi terhadap lembaga-lembaga tersebut diataspun tidak mungkin terjadi bila pendapatan negara tidak cukup  untuk membayar gaji yang bisa memenuhi kebutuhan dasar,  serta menutup biaya–biaya lembaga pemerintahan untuk keperluan sumberdaya dan operasional dasar .

Sebagai akibat dari kekurangan-kekurangan ini, korupsi telah mewabah keseluruh bidang pekerjaan kepegawaian negeri, mulai dari lapisan terbawah hingga yang teratas. Meski telah diadakan pemilihan secara demokrasi, struktur politik pokok masih didasari jaringan perlindungan (patronage) yang  tertanam dalam. Reformasi yang mengancam struktur tersebut akan mendapat perlawanan keras kecuali ditemukan cara untuk meningkatkan pajak guna menutup biaya kepemerintahan yang layak dan melegitimasi struktur kekuasaan yang ada.

Reformasi bukan sekedar masalah hukum yang tidak memadai, lembaga-lembaga  yang lemah, kode etika atau keahlian melainkan terutama masalah kemauan politik, atau political will. Pemerintahan Abdurrahman Wahid  tengah berupaya bertahan, dan ada keraguan apakah pemerintahan pengganti akan mampu menghadapi permasalahan-permasalahan pokok. Akan tetapi meski tanpa kemauan polititik,  kiranya masih mungkin menuntut reformasi secara produktif dalam bidang administrasi serta operasi kepolisian yang tidak  merupakan ancaman bagi struktur-struktur kekuasaan. Seiring dengan perubahan politik yang terjadi, reformasi dapat menjalar ke bidang-bidang yang lebih signifikan, sehingga lambat laun korupsi dapat ditekan hingga ketingkat yang lebih terkendali. Namun demikian harus tetap disadari bahwa hal tersebut bukanlah suatu proses berjangka pendek.

Beberapa pengamat melihat kepemimpinan polisi  senior  sangat dipolitisir, serta cenderung menghalangi perwira yang hendak menggalakkan reformasi. Meski demikian,  tugas yang dihadapi  luar biasa beratnya karena harus menjaga hukum dan ketertiban umum diseluruh negara yang sangat luas sambil berupaya menjalankan tanggung jawab yang diperluas dalam hal keamanan dalam negeri dengan sumberdaya yang sangat tidak memadai.  Mungin saja terpikir bahwa   perubahan yang radikal dalam kondisi seperti ini akan membuat organisasinya menjadi kewalahan.

Apapun motivasi kepemimpinan senior, tiadanya tekanan dari dalam mempertegas kebutuhan akan  kepemimpinan politik yang menyediakan kebijakan,  sumberdaya serta  pengawasan guna memajukan proses reformasi. Dengan pembahasan tentang motivasi pribadi ini artinya  kita juga tidak boleh lupa adanya kekuatan pribadi atau ‘the power of one’. Kepemimpinan otoriter berusaha menekan individualitas, namun tetap akan timbul orang-orang yang memiliki visi, keterampilan berorganisasi dan dorongan kuat yang harus diidentifikasi dan diberi dukungan. Orang-orang tersebutlah, yang walaupun bertindak sendiri-sendiri, mampu memberi arahan dan laju organik sehingga pada saatnya akan timbul perubahan demokrasi dalam dan pada lembaga kenegaraan termasuk kepolisian, serta tercipta budaya yang meminimalkan korupsi.

Jakarta/Brussels, 20 Februari 2001

Executive Summary

In the euphoria at the demise of the New Order, there was an expectation that the 1945 Constitution’s declaration that Indonesia was a state based on the rule of law might be resurrected after 40 years of neglect. The euphoria soon dissipated, however, when the scale of the challenge and the weakness of the first democratically elected government since 1957 became evident.

Reform of particular institutions, like the Indonesian National Police (INP), cannot be implemented in isolation from the other institutions of state. An effective police force will soon be rendered impotent if prosecutors, judges, and prison governors fail in their responsibilities. Likewise, reform in any of these institutions is unlikely if government revenues are not adequate to pay salaries that meet basic needs and cover the basic resources and operational costs of the institutions of government.

As a result of these shortcomings, corruption has become endemic across the whole field of public employment from top to bottom. Despite democratic elections, the underlying political structures are still based on deeply rooted patronage networks. Reforms that threaten these structures will be strongly resisted unless means are found to raise taxes to cover reasonable costs of government and legitimise the existing structures of power.

Reform is not so much a matter of inadequate law, feeble institutions, ethical codes or expertise as of mustering political will. The Abdurrahman Wahid government is in survival mode, and there are doubts about the capacity of a successor government to address fundamental issues. Even in the absence of political will, however, it should still be possible and productive to pursue reform in areas of police administration and operations that do not threaten the structures of power. As political conditions change, reform might spread to more significant areas, eventually containing corruption to manageable levels. But there should be no illusions that this is a short-term process.

Senior police leadership is seen by some observers to be heavily politicised and inclined to block officers who want to push reform more energetically. That might be so but it also faces an enormous task of maintaining a semblance of law and order across a huge country while trying to exercise expanded responsibilities for internal security with grossly inadequate resources. It may consider that trying to impose radical change in such circumstances would overwhelm the capacity of the organisation to cope.

Regardless of senior leadership’s motives, the absence of pressure from within reinforces the need for political leadership to provide the policy, resources and oversight to drive the reform process forward. The discussion of individual motives also suggests that ‘the power of one’ should not be forgotten. Authoritarianism seeks to suppress individuality but individuals with vision, organisational skills and drive will emerge and should be identified and encouraged. These persons, even acting separately, can give organic direction and impetus that might eventually force democratic change in and on the institutions of state, including the police and create a culture that minimises corruption.

Jakarta/Brussels, 20 February 2001

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.