Briefing / Asia 3 minutes

Indonesia: Ketegangan Seputar Bendera Aceh

Ringkasan Ikhtisar

Keputusan pemerintah Aceh untuk memakai bendera bekas Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai bendera resmi propinsi sedang menguji sejauh mana batas otonomi khusus. Keputusan yang membuat geram Jakarta ini juga meningkatkan ketegangan etnis dan politik, menghidupkan kembali semangat pemekaran Aceh serta menambah kekhawatiran terjadinya kekerasan menjelang pemilu nasional 2014.

Pada 25 Maret 2013, DPR Aceh mengadopsi sebuah qanun yang membuat bendera lama GAM menjadi bendera resmi propinsi Aceh. Qanun ini segera ditandatangani oleh Gubernur Zaini Abdullah. Gubernur dan wakil gubernur adalah anggota Partai Aceh, partai politik lokal yang didirikan oleh para mantan petinggi GAM di tahun 2008 yang kini menguasai DPR Aceh.

Pemerintah pusat, yang menganggap bendera tersebut sebagai simbol separatis dan oleh karena itu melanggar Peraturan Pemerintah No. 77/2007, langsung keberatan dan minta dilakukan perubahan. Para petinggi Partai Aceh, yang melihat bendera tersebut sebagai alat ampuh untuk menggalang massa dalam pemilu 2014, menolak permintaan itu. Mereka berargumentasi bahwa bendera itu tidak dapat dianggap sebagai simbol separatis karena GAM secara eksplisit telah mengakui kedaulatan Republik Indonesia yang merupakan bagian dari perjanjian damai Helsinki tahun 2005 yang telah mengakhiri 30 tahun konflik.

Pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terbelah dalam menangani masalah ini. Di satu sisi, pemerintah tak ingin menyinggung petinggi GAM; perjanjian damai tahun 2005 merupakan prestasi terpenting bagi Yudhoyono yang di akhir masa tugasnya khawatir dengan bagaimana dia akan dilihat di masa depan. Jakarta juga tak ingin memprovokasi GAM terlalu jauh karena khawatir Aceh akan kembali terperosok dalam konflik walaupun kekhawatiran ini dilihat banyak orang di Aceh tidak beralasan. Di sisi lain, pemerintah juga tak ingin dianggap tidak nasionalis dengan semakin dekatnya pemilu 2014. Apalagi, beberapa unsur di TNI, Polri dan badan intel masih tetap yakin bahwa GAM masih belum melepaskan tujuannya untuk merdeka dan kini menggunakan cara-cara demokratis untuk mewujudkannya. Presiden dan para penasihatnya juga tahu bahwa kalau mereka mengijinkan bendera GAM berkibar, maka hal itu akan berdampak di Papua, dimana puluhan aktivis pro-kemerdekaan telah dipenjara karena mengibarkan bendera “Bintang Kejora”

Para petinggi GAM melihat tak ada ruginya bersikukuh dengan keputusan mereka. Bendera GAM merupakan simbol yang punya kekuatan emosional yang amat besar. Menentang Jakarta malah membuat mereka lebih populer dalam masyarakat Aceh. Beberapa anggota DPRA melihat hal ini sebagai cara untuk meraih kembali popularitas mereka yang menyusut karena gagal memberikan pelayanan yang substantif kepada konstituen mereka. Disamping itu, Partai Aceh mengambil keputusan yang kontroversial untuk bermitra dengan Gerindra, partainya mantan Jenderal Prabowo Subianto, dalam pemilu 2014 nanti. Petinggi-petinggi GAM seperti Muzakir Manaf, wakil gubernur dan mantan panglima GAM, mungkin ingin menggunakan persoalan bendera Aceh untuk memperlihatkan bahwa mereka tidak mengkompromikan prinsip mereka meski bersekutu dengan seseorang yang jejak rekam HAM nya sering dipertanyakan.

Di Aceh sendiri, pengadopsian bendera GAM telah memicu protes dari kelompok-kelompok etnis non-Aceh di pegunungan tengah dan wilayah barat daya. Wilayah dominan GAM selama ini ada di wilayah pesisir timur Aceh. Bagi mereka yang di dataran tinggi seperti suku Gayo, bendera ini mewakili dominasi masyarakat pesisir. Persoalan ini telah menghidupkan kembali gerakan terpendam untuk memekarkan Aceh menjadi tiga dengan membentuk dua propinsi baru, yaitu propinsi Aceh Leuser Antara (ALA) untuk wilayah pegunungan tengah, dan propinsi Aceh Barat Selatan (ABAS) untuk wilayah barat daya. Kalau Pemerintah Aceh tak mau merubah keputusannya soal bendera Aceh, maka dukungan untuk pemekaran kemungkinan akan meningkat, dan ketegangan antar suku pun akan memanas. 

Opsi-opsi untuk memecahkan kebuntuan kemungkinan adalah sebagai berikut: pemerintah melanggengkan keputusan DPRA; GAM mengalah dengan membuat sedikit perubahan terhadap bendera Aceh dengan menambah atau menghilangkan elemen tertentu; GAM setuju untuk membatasi bagaimana atau dimana bendera bisa dipasang; atau perselisihan ini dibawa ke Mahkamah Agung, oleh karena itu menunda resolusi apapun.

Sementara itu, kekuatan politik GAM di Aceh terus meningkat. 

Jakarta / Brussels, 7 Mei 2013

I. Overview

The decision of the Aceh provincial government to adopt the banner of the former rebel Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka, GAM) as its official provincial flag is testing the limits of autonomy, irritating Jakarta, heightening ethnic and political tensions, reviving a campaign for the division of Aceh and raising fears of violence as a national election approaches in 2014.

On 25 March 2013, the provincial legislature adopted a regulation (qanun) making the GAM’s old banner the provincial flag. It was immediately signed by Governor Zaini Abdullah. The governor and deputy governor are members of Partai Aceh, the political party set up by former rebel leaders in 2008 that also controls the legislature.

The central government, seeing the flag as a separatist symbol and thus in violation of national law, immediately raised objections and asked for changes. Partai Aceh leaders, seeing the flag as a potent tool for mass mobilisation in 2014, have refused, arguing that it cannot be a separatist symbol if GAM explicitly recognised Indonesian sovereignty as part of the Helsinki peace agreement in 2005 that ended a nearly 30-year insurgency. Partai Aceh believes that if it remains firm, Jakarta will eventually concede, as it did in 2012 over an election dispute.

Indonesian President Yudhoyono’s government is torn. On the one hand, it does not want a fight with the GAM leaders; the 2005 peace agreement is the most important achievement of a president who, in his final term, is very much concerned about his legacy. It also is unwilling to provoke GAM too far, fearful that it will return to conflict, a fear many in Aceh discount as unwarranted but one that Partai Aceh has exploited with relish. On the other hand, it does not want to be branded as anti-nationalist as the 2014 election looms, especially as some in the security forces remain convinced that GAM has not given up the goal of independence and is using democratic means to pursue it. The president and his advisers also know that if they allow the GAM flag to fly, it will have repercussions in Papua, where dozens of pro-independence activists remain jailed for flying the “Morning Star” flag of the independence movement.

GAM leaders see little to lose by standing their ground. The flag is a hugely emotive symbol, and defying Jakarta is generally a winning stance locally. Some individual members of parliament see it as a way of regaining waning popularity for failing to deliver anything substantive to their constituencies. Also, Partai Aceh took a controversial decision to partner with Gerindra, the party of former army General Prabowo Subianto, for the 2014 election. Leaders like Muzakir Manaf, deputy governor and former commander of GAM’s armed wing, may want to use the flag issue to show they have not compromised their principles by allying with a man whose human rights record is often questioned.

Within Aceh, adoption of the GAM flag has sparked protests from non-Acehnese ethnic groups in the central highlands and south west. The GAM heartland has always been along the east coast; to highlanders like the Gayo, the flag thus represents the domination of the coastal Acehnese at their expense. The issue has revived a dormant campaign for the division of Aceh into three by the creation of two new provinces, Aceh Leuser Antara (ALA) for the central highlands and Aceh Barat Selatan (ABAS) for the south west. If GAM does not back down on the flag, support for that campaign by the intelligence services is likely to rise, and with it, the probability of increased ethnic tensions.

The options for breaking the stalemate seem to be as follows: the government concedes; GAM concedes, making slight changes to the flag by adding or removing an element; GAM agrees to limits on how or where the flag can be displayed; or the dispute is taken to the Supreme Court, thereby delaying any resolution.

In the meantime, the power of the GAM machinery in Aceh continues to grow.

Jakarta /Brussels, 7 May 2013

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.