Report / Asia 2 minutes

Syari’at Islam dan Peradilan Pidana di Aceh

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Ikhtisar

Aceh adalah satu-satunya propinsi di Indonesia yang memiliki hak untuk menerapkan Syari’at Islam secara penuh. Sejak tahun 1999, Aceh secara perlahan-lahan telah mulai meletakkan sebuah kerangka kelembagaan untuk menegakkan Syari’at Islam. Dalam proses peletakan kerangka kelembagaan tersebut, mereka menemui pertanyaan-pertanyaan yang sulit dijawab: Aspek apa yang harus ditegakkan pertama kali? Apakah sebaiknya menggunakan aparat kepolisian, kejaksaan dan pengadilan yang sudah ada atau membentuk lembaga baru? Bagaimana sebaiknya menjatuhkan hukuman kepada para pelanggar hukum? Upaya mereka untuk menemukan jawaban bagi pertanyaan ini diperhatikan dengan seksama oleh pemerintah daerah yang lain, dan beberapa diantaranya telah membuat peraturan-peraturan daerah (perda) yang terinspirasi oleh atau diambil dari Syari’at Islam. Langkah ini pada gilirannya telah memicu perdebatan hangat di Indonesia mengenai apa peran pemerintah di tingkat pusat, propinsi dan kabupaten  dalam mendorong ketaatan terhadap Syari’at Islam dan sejauh mana gerakan Islamisasi akan dan sebaiknya diperbolehkan untuk berkembang.

Laporan ini menganalisis alasan-alasan yang mengemuka atas pertanyaan mengapa Aceh mendapatkan hak untuk menerapkan syari’at Islam, sementara propinsi yang lain tidak. Alasan alasan itu antara lain: bahwa Islam adalah identitas utama masyarakat Aceh.; bahwa ada preseden masa lalu penerapan syari’at Islam di Aceh; bahwa memberikan hak menerapkan Syari’at Islam akan membujuk Aceh menjauh dari separatisme dan membantu memulihkan kepercayaan kepada pemerintah pusat. Ketiga asumsi ini, namun khususnya yang terakhir, ikut menjadi alasan ketika pada tahun 1998 pemerintah pasca- Soeharto yang pertama mulai memikirkan tentang solusi politik atas konflik di Aceh.

Pengadilan Islam di Aceh telah lama menangani kasus- kasus mengenai perkawinan, perceraian dan warisan. Sebuah terobosan yang berkenaan dengan penerapan hukum Islam yang lebih luas terjadi setelah undang- undang Otonomi Khusus disahkan pada tahun 2001, yang memberikan lampu hijau kepada pengadilan Islam untuk melebarkan jangkauan mereka hingga ke peradilan pidana.   Pada   titik   inilah   persoalan   serius  mengenai

dualisme hukum muncul, tanpa adanya batasan yang jelas mengenai pembagian tugas antara pengadilan negeri biasa dan pengadilan Syari’at. Pertanyaan mengenai masalah penegakan hukum bahkan lebih suram: laporan ini mengamati peran wilayatul hisbah, yaitu “polisi syariat” yang telah dibentuk oleh pemerintah setempat dan bagaimana perannya semakin lama semakin luas  – dengan cara yang membuat polisi tidak senang.

Crisis Group mengkaji persoalan-persoalan praktis yang telah muncul pada saat Aceh mencoba untuk menegakkan tiga aturan Syari’at Islam yang pertama, yang telah disahkan oleh pemerintah propinsi. Aturan-aturan itu adalah: larangan minuman keras; berjudi; dan khalwat. Laporan ini melihat bagaimana dan mengapa pemerintah memilih hukum cambuk sebagai sanksi bagi yang melanggar ketiga aturan ini, meskipun hukuman ini belum pernah ada sebelumnya di Aceh.. Laporan ini juga melihat rencana-rencana untuk memperluas penerapan hukum Islam.

Crisis Group menyimpulkan bahwa meskipun para pejabat Syari’at di Aceh benar-benar yakin bahwa penerapan hukum Islam yang ketat akan ikut memfasilitasi tujuan yang lebih luas seperti upaya perdamaian, rekonsiliasi, dan rekonstruksi, tapi ada dinamika lain yang juga terjadi. Fokus perbaikan moralitas tak lagi jadi sarana tapi sudah jadi tujuan itu sendiri. Birokrasi Syari’at memiliki kepentingan untuk memperluas kekuasaannya. Semangat yang ditunjukkan oleh polisi syariat dalam menerapkan peraturan ini telah mendorong sebuah proses dimana penduduk saling melaporkan tentang tetangganya dan main hakim sendiri. Ada persepsi bahwa perempuan dan kaum miskin telah menjadi target utama dari penegakan hukum Islam ini. Belum ada indikasi bahwa penerapan Syari’at Islam bisa meningkatkan keadilan  bagi sebagian besar rakyat Aceh. Namun, bagi mereka yang mendukung perluasan penegakan syari’at Islam, hal itu mungkin tidak relevan. Masalah sebenarnya adalah apakah hukum buatan manusia atau Tuhan akan berlaku.

Jakarta/Brussels, 31 Juli 2006

Executive Summary

Aceh is the only part of Indonesia that has the legal right to apply Islamic law (Shari’a) in full. Since 1999, it has begun slowly to put in place an institutional framework for Shari’a enforcement. In the process, it is addressing hard questions: What aspects should be enforced first? Should existing police, prosecutors and courts be used or new entities created? How should violations be punished? Its efforts to find the answers are being watched closely by other local governments, some of which have enacted regulations inspired by or derived from Shari’a. These moves in turn are sparking a raging debate in Indonesia about what role government at any level should play in encouraging adherence to Islamic law and how far the Islamisation drive will or should be allowed to spread.

This report analyses the reasons usually put forward for why Aceh has been granted the right to apply Shari’a when many other regions have not: that Islam is central to Acehnese identity; that there is a historical precedent there; and that granting Shari’a would help woo an area wracked by insurgency away from separatism and restore trust in the central government. All three assumptions, but particularly the last, came into play when the first post-Soeharto government in 1998 began thinking about a political solution to the Aceh conflict.

Islamic courts in Aceh had long handled cases of marriage, divorce and inheritance. The breakthrough in terms of greater application came after special autonomy legislation was passed in 2001, which gave the courts a green light to extend their reach into criminal justice. It was at this point that serious issues of legal dualism emerged, with no clear line between what the division of labour would be between the regular state courts and Shari’a courts. The question of law enforcement was even murkier: this report looks at the role of the wilayatul hisbah, the “vice and virtue patrol” that Aceh has set up and how its role is gradually expanding much to the unhappiness of the police.

Crisis Group examines the practical problems that have emerged as Aceh tries to enforce the first three Shari’a regulations passed by the district government: criminalising consumption and sale of alcoholic beverages; gambling; and illicit relations between men and women. It looks at how and why the government instituted caning as a punishment for all three, even though there was no precedent for it in Aceh, and the plans for expanding the application of Islamic law.

The report concludes that while the Shari’a officials in Aceh deeply believe that strict enforcement will facilitate broader goals like peace, reconstruction and reconciliation, there are other dynamics at work. The focus on morality seems to have become an end in itself. The religious bureaucracy has a vested interest in its own expansion. The zeal shown by the vice and virtue patrol in enforcing the regulations has encouraged a report-on-your-neighbour process and a kind of moral vigilantism. Women and the poor have become the primary targets of enforcement. There is no indication that implementation of Shari’a is advancing justice for most Acehnese. But for many of its advocates, that may be beside the point. The real issue is whether man’s law or God’s will prevails.

Jakarta/Brussels, 31 July 2006

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.