Briefing / Asia 3 minutes

Papua: Bahaya yang Dapat Timbul Jika Menghentikan Dialog

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Rangkuman Ikhtisar

Terdapat resiko yang cukup serius bahwa Majelis Rakyat Papua atau MRP yang baru lima bulan didirikan dan sudah lama ditunggu-tunggu akan terancam gagal, karena itu akan mengakhiri harapan bahwa Majelis ini dapat mengurangi ketegangan antara warga Papua dengan pemerintah pusat. MRP dibentuk dengan maksud sebagai inti paket otonomi yang diberikan kepada propinsi paling timur ini pada tahun 2001. Tetapi tak lama setelah Majelis ini terbentuk, ia langsung dihadapkan pada dua masalah besar, yaitu lambatnya pembicaraan mengenai status hukum Irian Jaya Barat/IJB (sebuah propinsi baru yang dibentuk dari propinsi Papua pada tahun 2003), dan aksi kekerasan yang timbul dari aksi protes terhadap pertambangan raksasa Freeport, sementara pemerintah Jakarta mengesampingkan setiap upaya mediasi. Untuk menghidupkan kembali usaha dialog yang sungguh-sungguh dan untuk menyelamatkan institusi ini sebelum kebijakan otonomi gagal total, Presiden Yudhoyono sebaiknya bertemu dengan MRP di Papua, dengan begitu akan menunjukkan pentingnya MRP bagi pemerintah pusat. Sementara MRP juga sebaiknya lebih fleksibel terhadap tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dan memberikan pilihan kebijakan yang realistis agar otonomi dapat berjalan dengan baik.

Para pemimpin warga Papua telah membayangkan MRP sebagai sebuah badan perwakilan para kepala suku Papua yang akan melindungi budaya, adat, dan nilai-nilai Papua dalam menghadapi banjirnya pendatang dari luar Papua dan dalam menghadapi eksploitasi sumber daya alam Papua. Sementara itu, para politikus yang berbasis di Jakarta melihat MRP sebagai sebuah wadah nasionalisme Papua dan karena itu mereka dengan sengaja membatasi kekuasaannya serta menunda berdirinya MRP. Pada saat MRP berdiri, propinsi Papua telah terbagi menjadi dua, sehingga banyak warga Papua yang kecewa dengan otsus dan mulai mempertanyakan bagaimana MRP dapat berfungsi dalam kondisi seperti ini.

Wewenang MRP masih belum pasti. Jika MRP dapat keluar dari kedua masalah ini dengan baik, mungkin juga akan mampu mengambil tanggung jawab untuk menjadi sebuah perwakilan yang murni dan benar-benar berfungsi sebagai partner dialog bagi Jakarta, yang tidak ada selama ini. Jika gagal, MRP tidak hanya akan kehilangan legitimasinya, tetapi kemarahan warga setempat terhadap pemerintah pusatpun sudah pasti akan meningkat.

Namun pertandanya kurang begitu baik. Ketika negosiasi antara MRP dan pemerintah pusat sedang berjalan untuk menyelesaikan masalah status hukum IJB, Jakarta tiba-tiba memberi wewenang untuk menyelenggarakan pemilihan gubernur di IJB, yang berarti memperkuat statusnya sebagai propinsi terpisah diluar otsus. MRP, meskipun pernyataan-pernyataannya cukup keras, telah memperlihatkan isyarat bahwa mereka bersedia untuk kompromi. Tetapi bukannya menyambut, pemerintah pusat malahan mengenyampingkan hal itu. Saat ini MRP sedang bergulat dengan pilihan apakah negosiasi perlu diteruskan, jika tidak memungkinkan, apakah sebaiknya MRP dibubarkan saja. Tetapi dengan banyaknya warga Papua yang ikut pilkada di IJB, dan dukungan warga setempat yang tersirat terhadap propinsi tersebut, pertanyaan yang lebih besar adalah, apakah MRP masih merupakan institusi yang relevan.

Sementara itu, aksi-aksi demonstrasi yang dipimpin para mahasiswa Papua baik yang di Papua, Jawa maupun Sulawesi yang menuntut ditutupnya pertambangan Freeport di Timika dan ditariknya pasukan TNI disana, mencapai puncaknya pada tanggal 16 Maret di Abepura, ketika terjadi bentrokan antara pengunjuk rasa dan pasukan keamanan yang mengakibatkan empat anggota Polri dan seorang anggota TNI-AU tewas, serta mengakibatkan beberapa warga sipil luka parah. Pencarian pelaku oleh polisi selanjutnya dilakukan secara keras sehingga menciptakan suasana tegang. Usaha MRP untuk melibatkan pemerintah pusat dalam masalah ini pun tidak dihiraukan.

Mediasi MRP untuk mengurangi ketegangan ini menjadi sangat dibutuhkan, meskipun kemungkinan itu terjadi semakin lama semakin kecil. MRP belum berhasil membuat perkaranya sendiri lebih mudah, tetapi sekarang tergantung pemerintah pusat untuk mengajak MRP bergabung kembali. Jika kepercayaan dapat ditumbuhkan kembali untuk memulai dialog, sebuah kompromi bagi IJB masih memungkinkan dengan berlandaskan pada konsensus yang telah disepakati oleh pemerintah pusat dan para tokoh pemimpin Papua pada akhir November 2005. Intisari dari perjanjian tersebut adalah bahwa Papua akan tetap menjadi sebuah kesatuan ekonomi, sosial dan budaya, meskipun secara adminstrasi telah terbagi menjadi dua. Jadi hanya akan ada satu MRP, dan dana otonomi dari pemerintah pusat serta pendapatan daerah yang diterima masing-masing propinsi dari eksploitasi sumber daya alam (antara lain dari pertambangan emas dan tembaga Freeport di Papua dan proyek gas alam BP di IJB) akan dibagi dua.

Semenjak pilkada posisi tawar MRP semakin diperlemah, tetapi saat ini sangat penting untuk mencapai sebuah kompromi perihal posisi tawar MRP - tidak hanya untuk kepentingan memecahkan kedua masalah, tetapi juga untuk menjadikan MRP sebagai sebuah insitusi yang benar-benar berfungsi. Kegagalan pemerintah pusat untuk mendukung MRP sudah hampir pasti akan mendorong banyak warga Papua untuk tidak percaya lagi dengan otsus. Dan melihat situasi yang tidak stabil di Papua saat ini, sudah menjadi kepentingan semua orang untuk memastikan kegagalan itu tidak terjadi.

Jakarta/Brussels, 23 Maret 2006

I. Overview

There is serious risk the long-awaited Papuan People's Council (Majelis Rakyat Papua, MRP) is about to collapse, only five months after it was established, ending hopes that it could ease tensions between Papuans and the central government. The MRP was designed as the centrepiece of the autonomy package granted the country’s easternmost province in 2001. Almost as soon as it came into being, however, it was faced with two major crises – stalled talks over the legal status of West Irian Jaya, the province carved out of Papua in 2003, and violence sparked by protests over the giant Freeport mine – while Jakarta marginalised its mediation attempts. To revive genuine dialogue and salvage the institution before autonomy is perhaps fatally damaged, President Yudhoyono should meet the MRP in Papua, thus acknowledging its importance, while the MRP should move beyond non-negotiable demands and offer realistic policy options to make autonomy work.

Papuan leaders had envisaged the MRP as a representative body of indigenous leaders that would protect Papuan culture and values in the face of large-scale migration from elsewhere in Indonesia and exploitation of Papua’s natural resources. Jakarta-based politicians saw it as a vehicle for Papuan nationalism and deliberately diluted its powers, then delayed its birth. By the time it emerged, the province had been divided into two, many Papuans were disillusioned with autonomy and some were already questioning how the MRP could function under such circumstances.

The MRP’s authority remains uncertain. If it can manoeuvre its way through these two crises, it may yet be able to take on other outstanding grievances and become what Papua has always lacked, a genuinely representative dialogue partner with Jakarta. If it fails, not only will its own legitimacy be diminished, but local resentment against the central government will almost certainly increase.

The signs are not good. As negotiations between the MRP and the central government were underway to resolve the disputed legal status of West Irian Jaya (Irian Jaya Barat, IJB), Jakarta suddenly authorised gubernatorial elections there, cementing its status as a separate province outside autonomy. The MRP, despite its hard-line rhetoric, had begun to show signs of willingness to compromise, but rather than reciprocate, the central government sidelined it. The MRP is now grappling with whether continued negotiations are possible, and if not, whether it should disband. But with large local turnout in the West Irian Jaya elections, and the local support that implies for the province, the bigger question is whether the MRP is still a relevant actor.

Meanwhile, student-led demonstrations in Papua and by Papuan students in Java and Sulawesi demanding closure of the Freeport mine in Timika and the withdrawal of military forces there, which had been escalating since late February, culminated in a violent clash in Abepura on 16 March, in which four police and an air force officer were killed and several civilians seriously injured. The subsequent police sweeps have been heavy handed, and the atmosphere remains tense. The MRP's attempts to engage the central government on this issue were quickly brushed aside.

Successful MRP mediation of these tensions is becoming more crucial as the chances of it happening become more remote. The MRP has not made its own case any easier but it is now up to the central government to bring it back on board. If sufficient trust can be reestablished to resume dialogue, a compromise on West Irian Jaya is still possible, building on the baseline consensus reached by the central government and top Papuan provincial leaders in late November 2005. The essence of that agreement was that Papua would remain a single economic, social, and cultural entity, regardless of the administrative division. That is, there would be a single MRP, and the autonomy funds from the central government and revenues raised in each province from resource exploitation – from the gold and copper of the Freeport mine in Papua and from the BP natural gas project in West Irian Jaya – would be shared by both.

Since the elections, the MRP’s bargaining position has been further weakened, but it is critically important now to reach a compromise on the issue – not just in the interests of resolving two crises, but to make the MRP a functioning institution. Failure to bolster the MRP would almost certainly deal a fatal blow to an autonomy package in which many Papuans are already losing faith. Given the current volatility in Papua, it is in everyone’s interests to make sure this does not happen.

Jakarta/Brussels, 23 March 2006

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.