Report / Asia 3 minutes

Daur Ulang Militan Indonesia: Darul Islam Dan Bom Kedutaan Australia

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISA

Tidak mungkin memahami konsep jihad di Indonesia tanpa mengerti gerakan Darul Islam (DI) serta upayanya membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Selama 55 tahun terakhir, gerakan tersebut telah menghasilkan berbagai pecahan dan sempalan, mulai dari Jemaah Islamiyah (JI) hingga kelompok agamis yang menolak kekerasan. Setiap kali generasi lama akan sirna, munculah generasi baru yang militan yang mendapat ilham dari sejarah DI maupun pesona negara Islam, untuk membaharui keberlanjutan gerakan tersebut. Sepanjang pola yang diurai didalam laporan ini tetap berjalan, maka Indonesia tak akan pernah bisa memberantas JI maupun mitra-mitranya dalam berjihad, sekalipun setiap anggota dari komando pusat berhasil ditangkap, akan tetapi dengan memperhatikan beberapa upaya kunci, kiranya mereka dapat terkendali.

Gerakan DI, yang bermula dari pemberontakan-pemberontakan di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh pada tahun 1950an, kini merupakan jaringan yang bersifat fleksibel namun langgeng, terdiri dari hubungan-hubungan pribadi yang terjalin pada hampir semua pulau-pulau besar di nusantara. Peristiwa bom pada bulan September 2004 didepan kedutaan Australia menunjukkan betapa hubungan-hubungan tersebut memainkan perannya.

Beberapa hari saja pasca bom tersebut, polisi telah menetapkan keterlibatan Azhari Husin dan Noordin Mohammed Top, dua anggota JI dari Malaysia. Tapi, belakangan terungkap keduanya bekerjasama dengan beberapa anggota DI dari kelompok yang terkenal dengan sebutan Ring Banten, yang beroperasi di basis-basis lama DI di Jawa Barat. Tiga pemuda Ring Banten yang direkrut menjadi pelaku bom bunuh diri, yang salah satunya ikut tewas pada peristiwa bulan September, masing-masing diketahui ayahnya adalah anggota DI.

Dengan mencermati sejarah DI, kiranya dapat lebih mudah memahami JI:

  • Cara Darul Islam bertahan serta melakukan adaptasi setelah mengalami kekalahan ditangan TNI pada tahun 1960an dan tertangkapnya hampir seluruh pimpinannya pada 1977-1982, mengisyaratkan bahwa JI pun mungkin bisa bertahan walaupun banyak diantara pemimpin tertinggi telah ditangkap.
     
  • Seringkali dengan dipenjara, pamor anggota DI justru naik; bahkan setelah dipenjara untuk waktu cukup lama mereka kerap keluar dengan semangat baru dan bisa direkrut untuk operasi baru.
     
  • Perpecahan maupun perebutan kekuasaan yang terjadi di tingkat atas sering berdampak kecil terhadap kerjasama di tingkat bawah.
     
  • Kecilnya kemungkinan keberhasilan suatu operasi tertentu tidak banyak mematahkan semangat mereka yang bertekad melancarkan serangan. Dengan semboyan operasi “Menang atau mati syahid”, maka berjihad dihadapan tantangan yang sangat besar justru memiliki daya tarik tersendiri.
     
  • Kegagalan pimpinan senior untuk merespon kejadian-kejadian politik tertentu dapat membuka jalan bagi timbulnya gerakan-gerakan militan baru dibawah pimpinan anggota-anggota muda yang merasa kesal terhadap sikap pasif para senior mereka.
     
  • Ikatan-ikatan baru dan persahabatan yang langgeng terjalin ketika menjalankan program pelatihan militer.

Semua ini tentu saja mengkhawatiran, namun ada juga berita yang menggembirakan. Terjadinya daur ulang anggota DI lama yang masuk kedalam JI atau yang membentuk kerjasama dengan JI mengisyaratkan bahwa basis perekrut pelaku jihad tidak berkembang secara signifikan, selain itu tampaknya mereka menemukan kesulitan untuk bergerak jauh diluar lingkungan DI lama maupun lingkungan JI yang ada. Bahkan didalam basis-basis DI sendiri, yang merupakan tempat merekrut pelaku lapangan untuk pengeboman kedutaan Australia, ternyata sulit menemukan pemuda yang bersedia menjalankan paduan antara praktek agama yang sangat ketat dengan penafsiran jihad yang sangat ekstrim. Tak ada alasan menduga, misalnya, bahwa perang Irak bakal meningkatkan jumlah anggota JI baru secara mendadak, kendati perang tersebut sangat tidak populer dan telah mengobarkan sentimen anti-Amerika, yang akan tetap mempersulit upaya melawan terror yang dilakukan didalam negeri

Variabel yang terpenting didalam menentukan apakah jihadisme dapat dikendalikan termasuk:

  • penanganan yang tepat terhadap ketegangan antar agama yang terjadi didalam negeri;
     
  • kapasitas penegakan hukum ditingkatkan;
     
  • perhatian yang lebih serius dari pemerintah Indonesia terhadap dampak memenjarakan pelaku jihad, dan tindak lanjut setelah mereka dibebaskan; dan,
     
  • pengendalian yang lebih cermat atas penjualan dan access kepada senapan, amunisi dan bahan peledak;

Semua hal tersebut sesungguhnya berada didalam kendali pemerintah Indonesia. Ada lagi variabel keempat, yaitu apakah akan lahir sebuah pusat utama pelatihan jihad internasional seperti yang pernah ada di Afghanistan. Sudah barang tentu hal itu tergantung tidak saja pada tindakan pemerintah Indonesia, melainkan juga atas kebijakan lebih luas dari komunitas internasional.

Singapura/Brussels, 22 Februari 2005

Executive Summary

No understanding of jihadism in Indonesia is possible without understanding the Darul Islam movement (DI) and its efforts to establish the Islamic State of Indonesia (Negara Islam Indonesia (NII)). Over the last 55 years, that movement has produced splinters and offshoots that range from Jemaah Islamiyah (JI) to non-violent religious groups. Every time the older generation seems on the verge of passing into irrelevance, a new generation of young militants, inspired by DI's history and the mystique of an Islamic state, emerges to give the movement a new lease on life. If the pattern outlined in this report holds, Indonesia will not be able to eradicate JI or its jihadist partners, even if it arrests every member of the central command but, with more attention to a few key measures, it ought to be able to contain them.

The DI movement, that began as separate rebellions in West Java, South Sulawesi, and Aceh in the 1950s, is now one very loose but enduring web of personal contacts that extends to most of the major islands in Indonesia. The September 2004 bombing in front of the Australian embassy in Jakarta shows how some of those contacts can be brought into play.

Within days of the explosion, Indonesian police determined that two known Malaysian JI members, Azhari Husin and Noordin Mohammed Top, were involved. But it became apparent that they were working in partnership with an offshoot of DI called the Banten Ring, operating in old DI strongholds in western Java. Three of the young men recruited as suicide bombers from the Banten Ring, including one who died in the September bombing, had fathers in DI.

Examining DI's history may give us clues to understanding JI:

  • The way Darul Islam survived and adapted after its defeat by the Indonesian army in the 1960s and the arrest of virtually its entire leadership in 1977-1982 suggests JI may also be able to survive the arrests and imprisonment of many of its top leaders.
     
  • Imprisonment often enhances the credentials of DI members and rarely serves to weaken their commitment to the cause; they often emerge even from long imprisonment as energized as when they went in and recruitable for new operations.
     
  • Rifts and power struggles at the top often have little impact on cooperation at lower levels.
     
  • The odds against a particular operation succeeding are little deterrent to those committed to planning attacks. With "Victory or martyrdom" as the operative slogan, waging jihad against insuperable odds has its own attraction.
     
  • Failure of older leaders to respond to particular political events may lead to the emergence of new, militant movements led by younger members angered by the inaction of their elders.
     
  • New bonds are forged and lasting friendships made during military training programs.

All this is worrying but there is also good news. The recycling of old DI members into JI or into partnerships with JI suggests that the recruiting base for jihadists may not be expanding significantly, and that it is difficult for them to move very far beyond old DI or existing JI constituencies. Even in the DI stronghold where the foot soldiers for the Australian embassy bombing were recruited, it was difficult to find youths willing to sign up for the combination of very strict religious practice and extreme interpretation of jihad. There is no reason to think that the war in Iraq, for example, will produce a sudden spurt of new JI members, even though the unpopularity of that war and the anti-American sentiment it has fuelled will continue to complicate domestic counter-terror initiatives.

The most important variables that will determine whether jihadism is contained include whether:

  • communal tensions inside Indonesia are properly managed;
     
  • law enforcement capacity is improved;
     
  • the Indonesian government gives more serious thought to the impact of prison on the jihadists in custody and what happens to them on release; and
     
  • better control is exerted over the sale and transfer of arms, ammunition and explosives.

All these are within the control of the Indonesian government. A fourth variable is whether a new major centre of international jihadist training, such as Afghanistan once was, emerges. That depends, of course, not only, or even primarily upon the Indonesian government's actions but upon policies of the wider international community.

Singapore/Brussels, 22 February 2005

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.