Report / Asia 3 minutes

Terorisme Di Indonesia: Jaringan Noordin Top

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Rangkuman Ikhtisar

Polisi sudah semakin dekat mengepung Noordin Mohammed Top, teroris yang paling diburu di Asia Tenggara. Dalam sebuah operasi penggerebekan yang dramatis yang terjadi di subuh 29 April 2006 di Wonosobo, Jawa Tengah, polisi menembak dan menewaskan dua orang anggota dari tim intinya dan menangkap yang lain. Jika dan ketika mereka berhasil menangkap Noordin, polisi akan me-nonaktifkan orang yang paling bertekad untuk menyerang kepentingan Barat. Namun masalah tentang struktur pendukung Noordin masih tetap harus dihadapi.

Selama empat tahun Noordin telah masuk kedalam jaringan para jihadis untuk membangun pengikut yang sangat patuh dan setia, dan jaringan yang sama ini juga mungkin dapat digunakan oleh yang lain. Jemaah Islamiyah (JI), organisasi jihadis terbesar di Asia Tenggara, terus menyediakan para pengikut seperti itu: dua orang yang tewas dalam operasi penggerebekan di Wonosobo, dan sedikitnya satu dari orang-orang yang ditangkap adalah anggota yang telah lama bergabung dengan JI. Tetapi pada awal tahun 2004, Noordin mulai menjangkau orang-orang muda dari organisasi lain dan beberapa dari mereka tidak memiliki afiliasi dengan organisasi apapun sebelumnya.

Menurut laporan, banyak dari anggota JI yang melihat kelompok Noordin – ia sendiri menyebutnya sebagai Al-Qaeda untuk kepulauan Melayu – sebagai sebuah kelompok sempalan yang telah menyebabkan kerusakan besar bagi organisasi yang telah mereka ikuti pada pertengahan tahun 90-an. Tetapi menurut laporan, Noordin melihat dirinya sebagai pemimpin sayap militer JI, meskipun ia tidak berada dibawah siapapun. Ia melakukan pembenaran atas aksi-aksinya dengan mengutip doktrin jihadis bahwa dalam keadaan darurat – contohnya jika dikepung oleh musuh – sebuah kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang, bahkan seorang individu dapat menghadapi musuh tanpa harus menunggu perintah dari seorang imam.

Laporan ini mengamati bagaimana Noordin telah mengandalkan kontak pribadi untuk membangun kelompoknya. Laporan ini disusun berdasarkan dokumen- dokumen  Berita  Acara  Pemeriksaan, dokumen-dokumen pengadilan, dan laporan dari media setempat, dengan meng-cross check informasi yang didapat lewat wawancara secara luas dengan narasumber resmi dan tak resmi yang banyak tahu mengenai hal ini.

Untuk aksi bom Marriott di Jakarta pada bulan Agustus 2003, ia menggunakan sekelompok kecil anggota JI yang berbasis di Sumatra yang memiliki hubungan dengan Luqmanul Hakiem, yaitu sekolah JI di Malaysia, atau dengan kembarannya, pondok pesantren al-Mukmin  di Ngruki, dekat Solo, Jawa Tengah.

Untuk aksi bom kedubes Australia pada bulan September 2004, ia mengandalkan tiga jaringan yaitu: divisi JI Jawa Timur; para alumni dari sekolah-sekolah JI di Jawa Tengah; dan sebuah faksi dari kelompok pemberontak lama bernama Darul Islam yang berbasis di Jawa Barat, yang angggotanya memasok para operatif utama. Meskipun para individu dari faksi Ring Banten pernah bekerja sama dengan JI sebelumnya, namun operasi militer dengan cara out-sourcing (menyerahkan tugas kepada organisasi lain) semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ini adalah salah satu indikasi bahwa Noordin bekerja sendirian.

Setelah bom Kuningan, Noordin mulai kekurangan pasokan dana, senjata dan pasukan tempur yang berpengalaman. Ia kemudian berpaling pada dua orang yang memiliki akses ke semua itu, dan dua orang ini bukan anggota JI. Yang satu dari sebuah faksi Darul Islam yang berbeda, yang memiliki banyak pengalaman di Filipina; yang satu lagi pernah menjadi ketua kantor KOMPAK (sebuah yayasan Islam) di Ambon dan mampu menggerakkan para mantan pejuang daerah konflik Ambon dan Poso. Negosiasi yang cukup alot diikuti dengan para kurir yang digunakan untuk menyampaikan pesan di antara para bos. Ternyata ketua Darul Islam maupun KOMPAK tidak tertarik untuk bergabung dengan Noordin, tetapi keduanya ditangkap pada pertengahan tahun 2005 dan mulai kehilangan kontrol atas para pengikutnya, dan beberapa dari mereka bergabung dengan Noordin.

Untuk aksi bom Bali pada bulan Oktober 2005, Noordin mengandalkan orang-orang dalamnya untuk mencari dan melatih anggota baru. Kalangan dalam ini  termasuk dua orang yang tewas pada tanggal 29 April. Proses perekrutan tampaknya dilakukan secara ad hoc/dadakan, meskipun dokumen-dokumen tertulis yang dihubungkan dengan Noordin menduga ia memiliki sebuah struktur sel yang sangat terorganisir yang didisain untuk melakukan operasi militer.

Noordin telah memperlihatkan kebulatan tekad dan kemampuan yang luar biasa untuk merencanakan operasi- operasi serangan, bahkan meskipun ia kehilangan rekan terdekatnya dalam operasi polisi dan tetap menjadi target dari operasi pengejaran terbesar yang pernah ada di Indonesia. Tidak jelas siapa di antara para calon penggantinya, yang juga dapat melakukan hal seperti dia.
 

Tetapi tindak tanduknya setelah bom Bali II menyiratkan bahwa ia mulai kehabisan dana dan kader yang berpengalaman. Tewasnya dua orang anggotanya yang bertugas sebagai kurir dan merekrut anggota baru dalam operasi polisi tanggal 29 April tentunya menjadi sebuah pukulan yang sangat besar bagi Noordin. Operasi penggerebekan di Wonosobo ini adalah keberhasilan bagi polisi, dan penangkapan Noordin tentu akan menjadi sebuah keberhasilan yang lebih besar lagi. Namun jaringan-jaringan yang ia miliki sebagai persediaan yang dapat ia ketuk sewaktu-waktu akan tetap bertahan sebagai sumber relawan untuk operasi serangan di masa depan.

Jakarta/Brussels, 5 Mei 2006
 

Executive Summary

The Indonesian police are closing in on Noordin Mohammed Top, South East Asia’s most wanted terrorist. In a dramatic pre-dawn raid on 29 April 2006 in Wonosobo, Central Java, they shot and killed two members of his inner circle and arrested two others. If and when they capture Noordin, they will have put the person most determined to attack Western targets out of commission. But the problem of Noordin’s support structure will still have to be tackled.

For four years Noordin has tapped into jihadist networks to build a following of diehard loyalists, and those same networks may be available to others. Jemaah Islamiyah (JI), the region’s largest jihadist organisation, continues to provide the hard core of that following: the two killed in the Wonosobo raid were longstanding JI members, as was at least one of those arrested. But beginning in 2004, Noordin began reaching out to young men from other organisations and some with no previous organisational affiliation.

Many JI members reportedly see the group he has cobbled together – he grandly calls it al-Qaeda for the Malay Archipelago – as a deviant splinter that has done great harm to the organisation they joined in the mid-1990s. Noordin, however, reportedly sees himself as leading JI’s military wing, even though he answers to no one. He justifies his actions by citing jihadist doctrine that under emergency conditions – for example if surrounded by the enemy – a group of two or three or even a single individual can take on the enemy without instructions from an imam.

This report examines the way in which Noordin has relied on personal contacts to put his group together. It is based on interrogation depositions, court documents, and Indonesian press reports, with information crosschecked through extensive interviews with knowledgeable sources, both official and unofficial.

For the Marriott Hotel bombing in Jakarta in August 2003, he used a small circle of Sumatra-based JI members who had either been associated with a JI school in Malaysia, Lukman al-Hakiem, or with its prototype, the al-Mukmin Islamic boarding school in Ngruki, near Solo, Central Java.

For the Australian embassy bombing in September 2004, he relied on three networks: the East Java division of JI; alumni of JI schools in Central Java; and a West Java-based faction of an old insurgency, Darul Islam, whose members supplied the key operatives. While individuals from that Ring Banten faction had worked with JI before, military operations had never before been outsourced in this way. It was one indication that Noordin was working on his own.

After the embassy bombing, Noordin was short of funds, weapons and experienced fighters. He turned to two men who had access to all these, neither of whom was JI. One was from a different Darul Islam faction with long experience in the Philippines; the other had been head of the Ambon office of the Islamic charity KOMPAK and could mobilise veterans of Indonesian communal conflicts. Intense negotiations followed with couriers used to relay messages between the bosses. It turned out that neither the Darul Islam nor the KOMPAK leader was interested in joining forces but both were arrested in mid-2005 and began to lose control over their followers, some of whom went over to Noordin.

For the second Bali bombing in October 2005, Noordin relied on his inner circle, including the two who were killed on 29 April, to find and train new members. Recruitment appeared to be rather ad hoc, despite written materials attributed to Noordin suggesting a tightly organised cell structure designed to undertake military operations.

Noordin has shown remarkable determination and capacity to plan operations even as he loses his closest colleagues to police dragnets and remains the target of Indonesia’s biggest ever manhunt. It is not clear who among potential successors could do as well.

But his behaviour following Bali II suggests he is running short of money and experienced cadres. The loss on 29 April of the men who served as both couriers and recruiters has to be a significant blow. The Wonosobo raid was a triumph for the police, and Noordin’s arrest will be an even greater one. But the networks he drew on will survive as a potential source of recruits for future operations.

Jakarta/Brussels, 5 May 2006

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.