Report / Asia 3 minutes

Myanmar: Awan Badai di Batas Cakrawala

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan ikhtisar

Para pemimpin Myanmar terus memperlihatkan bahwa mereka memiliki kemauan politik dan visi untuk benar-benar meninggalkan masa lalu mereka yang otoriter, namun jalan ke arah demokrasi kelihatannya tidak akan mudah. Presiden Thein Sein telah menyatakan proses demokratisasi di negaranya tidak akan berbalik arah. Ia juga telah melakukan upaya-upaya membangun sebuah kemitraan yang langgeng dengan oposisi. Meskipun prosesnya belum selesai, tahanan-tahanan politik telah dibebaskan, sejumlah besar nama-nama dalam daftar hitam dicoret, undang-undang kebebasan berserikat diimplementasikan, dan sensor media dihapus. Namun meluasnya kekerasan etnis di Negara Bagian Rakhine, yang terutama mengincar kaum minoritas Muslim Rohingya, seakan telah menjadi awan gelap diatas proses reformasi. Lebih dari itu, makin retaknya hubungan antar komunitas dapat mengancam stabilitas nasional. Di tempat lain, ketegangan sosial meningkat seiring dengan bertambahnya kebebasan yang memungkinkan konflik-konflik lokal muncul ke permukaan. Gencatan senjata di Negara Bagian Kachin masih sulit dicapai. Para pemimpin politik baku pendapat mengenai bagaimana seharusnya pembagian kekuasaan dibawah konstitusi yang ada maupun setelah pemilu 2015. Kepemimpinan moral kini dibutuhkan untuk meredakan ketegangan, dan kompromi-kompromi baru diperlukan apabila konfrontasi yang memecah-belah kesatuan negara ingin dihindarkan.

Presiden telah mengkonsolidasikan kekuasaannya melalui perombakan kabinet pertamanya. Menteri-menteri yang dianggap konservatif atau berkinerja buruk digeser, dan banyak deputi menteri baru yang diangkat. Kini lebih banyak teknokrat di posisi ini, dan Myanmar kini punya menteri perempuan untuk pertama kalinya. Presiden Thein Sein juga menempatkan anggota-anggota kabinet yang paling dipercaya di kantor kepresidenan, sehingga terbentuk semacam kelompok ”menteri super”. Mereka ini memiliki kekuasaan luas dalam berbagai urusan pemerintah, sebuah langkah yang mungkin sebagian dimotivasi oleh keinginan untuk memperkuat posisinya terhadap parlemen. Sebuah sengketa atas sebuah keputusan kontroversial oleh Mahkamah Konstitusi yang diangkat oleh Presiden berujung pada pemakzulan dan mundurnya anggota Mahkamah, menunjukkan kuatnya legislatif, dan resikonya pada struktur politik dalam proses transisi, karena institusi-institusi baru ini ingin mencoba batas-batas kekuasaan mereka.

Proses transisi yang sedang terjadi sejauh ini luar biasa karena kecepatannya dan tiadanya hambatan yang berarti dari dalam, termasuk dari militer. Namun pada suatu saat proses ini akan menghadapi tantangan yang sangat besar. Pertikaian antar etnis yang melanda Negara Bagian Rakhine sangat memprihatinkan dan ada potensi terjadi kekerasan serupa di tempat lain, dengan meningkatnya nasionalisme Myanmar dan juga nasionalisme etnis serta munculnya prasangka lama ke permukaan. Sulitnya mencapai kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata di Negara Bagian Kachin menegaskan bahwa rumitnya membangun perdamaian yang langgeng dengan kelompok-kelompok etnis bersenjata. Selain itu, ada ketegangan akar rumput yang meningkat terkait perampasan tanah dan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa setempat, dan kekhawatiran-kekhawatiran terkait dampak lingkungan dan sosial dari proyek-proyek infrastruktur dan pertambangan yang didukung pihak asing. Dalam konteks meningkatnya harapan masyarakat, keluhan-keluhan masa lalu yang tidak ditanggapi, dan kebebasan yang baru diperoleh untuk berserikat dan berdemonstrasi, ada potensi munculnya gerakan-gerakan sosial yang lebih radikal dan konfrontatif. Hal ini akan menjadi sebuah ujian penting bagi pemerintah dan aparat keamanan di saat mereka berupaya memelihara hukum dan ketertiban dengan tidak mengingatkan pada cara-cara otoriter di masa lalu yang baru saja mereka tinggalkan.

Salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan proses transisi di Myanmar adalah stabilitas makro-politik. Di tahun 2015 nanti, partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (National League for Democracy atau NLD) akan bersaing untuk pertama kalinya memperebutkan kursi parlemen di seluruh Myanmar sejak pemilihan umum tahun 1990 yang dibatalkan itu. Apabila pemilu ini bebas dan adil, mereka akan memicu sebuah pergeseran besar dalam keseimbangan kekuasaan dengan memudarkan kelompok lama. Tapi sebuah kemenangan mutlak NLD mungkin bukan hal yang terbaik bagi partai atau negara, karena hal itu beresiko memarjinalisasikan tiga konstituensi penting, yaitu: elit politik lama, partai politik etnis dan kekuatan demokratik non-NLD. Apabila parlemen paska 2015 gagal untuk mewakili keberanekaragaman politik dan etnis Myanmar yang sesungguhnya, ketegangan kemungkinan akan meningkat dan selanjutnya menyulut instabilitas.

Tantangan utama yang dihadapi NLD bukanlah bagaimana memenangkan pemilu, tapi bagaimana mengedepankan inklusivitas dan rekonsiliasi. NLD punya beberapa pilihan untuk dapat mewujudkan hal ini. Pilihan pertama, mereka bisa mendukung sebuah sistem pemilu yang lebih proporsional sehingga menciptakan parlemen yang lebih representatif, dengan cara merubah sistem “winner-takes-all” yang berlaku saat ini. Kedua, mereka bisa membangun aliansi dengan partai lain, terutama dengan partai-partai etnis, dengan sepakat untuk tidak bersaing melawan mereka di daerah-daerah pemilihan tertentu. Ketiga, mereka bisa mendukung seorang kandidat “kesatuan nasional” sementara untuk jabatan kepresidenan paska 2015. Hal ini akan menenteramkan kelompok kekuasaan lama dan melancarkan transisi ke sistem politik yang didominasi NLD. Yang terpenting, mereka juga bisa membangun dukungan untuk merubah bagian konstitusi yang diperlukan untuk memungkinkan Aung San Suu Kyi menjadi presiden. Perubahan ini kelihatannya sangat tidak mungkin sebelum tahun 2015 karena oposisi dari blok militer yang punya hak veto terhadap semua usulan amandemen. Tiap alternatif membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dari NLD dan kesediaan untuk menempatkan kepentingan nasional di atas pertimbangan-pertimbangan politik partai. Namun dengan pemimpin nasional sekaliber Aung San Suu Kyi di pucuk pimpinan, sudah semestinya NLD bisa menghadapi tantangan ini.

Jakarta/Brussels, 12 November 2012

Executive Summary

Myanmar’s leaders continue to demonstrate that they have the political will and the vision to move the country decisively away from its authoritarian past, but the road to democracy is proving hard. President Thein Sein has declared the changes irreversible and worked to build a durable partnership with the opposition. While the process remains incomplete, political prisoners have been released, blacklists trimmed, freedom of assembly laws implemented, and media censorship abolished. But widespread ethnic violence in Rakhine State, targeting principally the Rohingya Muslim minority, has cast a dark cloud over the reform process and any further rupturing of intercommunal relations could threaten national stability. Elsewhere, social tensions are rising as more freedom allows local conflicts to resurface. A ceasefire in Kachin State remains elusive. Political leaders have conflicting views about how power should be shared under the constitution as well as after the 2015 election. Moral leadership is required now to calm tensions and new compromises will be needed if divisive confrontation is to be avoided.

The president has moved to consolidate his authority with his first cabinet reshuffle. Ministers regarded as conservative or underperforming were moved aside and many new deputy ministers appointed. There are now more technocrats in these positions, and the country has its first female minister. The president also brought his most trusted cabinet members into his office, creating a group of “super-ministers” with authority over broad areas of government – a move perhaps partially motivated by a desire to strengthen his position vis-à-vis the legislature. A dispute over a controversial ruling by the presidentially-appointed Constitutional Tribunal led to impeachment proceedings and the resignation of the tribunal members, highlighting both the power of the legislature, and the risks to a political structure in transition as new institutions test the boundaries of their authority.

The transition has been remarkable for its speed and the apparent lack of any major internal resistance, including from the military. It will inevitably face enormous challenges. The ongoing intercommunal strife in Rakhine State is of grave concern, and there is the potential for similar violence elsewhere, as nationalism and ethno-nationalism rise and old prejudices resurface. The difficulty in reaching a ceasefire in Kachin State underlines the complexity of forging a sustainable peace with ethnic armed groups. There are also rising grassroots tensions over land grabbing and abuses by local authorities, and environmental and social concerns over foreign-backed infrastructure and mining projects. In a context of rising popular expectations, serious unaddressed grievances from the past, and new-found freedom to organise and demonstrate, there is potential for the emergence of more radical and confrontational social movements. This will represent a major test for the government and security services as they seek to maintain law and order without rekindling memories of the recent authoritarian past.

A key factor in determining the success of Myanmar’s transition will be macro-political stability. In 2015, Aung San Suu Kyi’s National League for Democracy (NLD) will compete for seats across the country for the first time since the abortive 1990 elections. Assuming these polls are free and fair, they will herald a radical shift in the balance of power away from the old dispensation. But an NLD landslide may not be in the best interests of the party or the country, as it would risk marginalising three important constituencies: the old political elite, the ethnic political parties and the non-NLD democratic forces. If the post-2015 legislatures fail to represent the true political and ethnic diversity of the country, tensions are likely to increase and fuel instability.

The main challenge the NLD faces is not to win the election, but to promote inclusiveness and reconciliation. It has a number of options to achieve this. It could support a more proportional election system that would create more representative legislatures, by removing the current “winner-takes-all” distortion. Alternatively, it could form an alliance with other parties, particularly ethnic parties, agreeing not to compete against them in certain constituencies. Finally, it could support an interim “national unity” candidate for the post-2015 presidency. This would reassure the old guard, easing the transition to an NLD-dominated political system. Critically, this option could also build support for the constitutional change required to allow Aung San Suu Kyi to become president at a future date, a change that is unlikely prior to 2015 given the opposition of the military bloc, which has a veto over any amendment. Pursuing any of these paths will require that the NLD make sacrifices and put the national interest above party-political considerations. With a national leader of the calibre of Aung San Suu Kyi at the helm, it can certainly rise to this challenge.

Jakarta/Brussels, 12 November 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.