Report / Asia 3 minutes

Laporan Latar Belakang Tentang Filipina Selatan: Terorisme Dan Proses Perdamaian

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Eksekutif

Laporan yang terus mengalir mengenai kaitan antara kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF /Front Pembebasan Islam Moro) dan jaringan teror Jemaah Islamiyah (JI) membawa suasana mendung dan merupakan ancaman bagi proses perdamaian antara MILF dan pemerintah Filipina. Kendati pimpinan MILF tetap menampik segala kaitan tersebut, seluruh bukti menunjuk adanya hubungan operasional dan pelatihan yang masih berjalan. Yang belum jelas, apakah pucuk pimpinan mengetahui keberadaan kegiatan tersebut dan enggan mengakuinya, atau anggota JI serta kelompok jihad yang sealiran menjalin hubungan dengan komandan MILF secara perorangan tanpa sepengetahuan pimpinan MILF. 

Laporan latar belakang ini, yang merupakan kelanjutan serangkaian laporan mengenai terorisme di Asia Tenggara, menilik sejarah persekutuan antara JI dan MILF, seberapa jauh kerjasama yang dijalin di masa lalu, serta status hubungan saat ini. Paradoks sentris pada proses perdamaian di Filipina selatan adalah bahwa proses tersebut merupakan hambatan jangka pendek utama mendongkel jaringan teroris sekaligus unsur yang senantiasa perlu bagi setiap upaya jangka panjang penanggulangan teror. Upaya bergerak langsung melawan teroris yang tertanam di wilayah yang dikuasai MILF membawa risiko terjadinya peningkatan kekerasan serta macetnya perundingan. Akan tetapi tanpa kesepakatan perdamaian yang berhasil, daerah tersebut akan tetap ditandai iklim ketiadaan hukum yang merupakan lahan subur bagi terorisme.

Yang perlu dicapai pada jangka pendek adalah mencegah kemungkinan meletusnya kembali perang. Salah satu langkah yang dapat diambil, yaitu segera memberlakukan mekanisme kerjasama antara pemerintah Filipina dan MILF yang telah disepakati kedua belah pihak pada tahun 2002 namun belum pernah dijalankan, untuk bertindak terhadap unsur kriminal yang mencari suaka di wilayah MILF. Hal ini perlu diperkuat agar teroris asing diperhatikan secara khusus. 

Peningkatan akuntabilitas MILF terhadap proses perdamaian melalui cara tersebut dapat diimbangi dengan menunjuk dewan perdamaian tetap di pihak pemerintah Filipina, yang dilengkapi sumber daya yang memadai guna membangun kesepakatan diantara para stakeholder utama, mengenai bentuk otonomi yang lebih sempurna. 

JI yang kini mempunyai reputasi buruk akibat kegiatannya, terutama di Indonesia, mulai bercokol di daerah Filipina selatan pada tahun 1994 dengan memperdalam hubungannya dengan kelompok separatis MILF yang dirintis ketika sama-sama berada di Afghanistan pada tahun 1980an. Hubungan pribadi yang terjalin antara ketua MILF Salamat Hashim dengan pimpinan JI seperti Abdullah Sungkar dan Zulkarnaen memungkinkan berdirinya kamp pelatihan dibawah perlindungan MILF yang meniru sistim kamp di Afghanistan dimana organisasi tersebut pertama dibentuk, serta pengalihan keterampilan yang mematikan kepada generasi baru operator.

Selain mengisi jajaran JI di Indonesia yang terkikis akibat penangkapan yang dilakukan pada masa pasca bom Bali, beberapa lulusan tersebut telah melancarkan serangan teror di Filipina bersama unsur MILF setempat dan Kelompok Abu Sayyaf. Menurut informasi yang diperoleh ICG, ada indikasi bahwa arsitek dari serangan-serangan yang dilakukan belum lama ini adalah lulusan kamp di Mindanao yang berasal dari Jawa bernama Zulkifli. Zulkifli ditangkap di Malaysia pada akhir tahun 2003, namun sebelum itu ia berhasil mengarahkan aksi bom di Davao pada Maret dan April 2003, yang menewaskan 38 orang dan hingga saat ini merupakan hambatan besar bagi perundingan perdamaian. 

Hubungan JI-MILF jelas tengah berlanjut, namun dengan cara yang lebih didesentralisasi. Semenjak tentara Filipina melibas kamp-kamp utama MILF pada tahun 2000, pasukan MILF tersebar menjadi satuan-satuan yang lebih kecil dan bersifat otonom, dan kadang kala tidak diakui pimpinan MILF yang menyebutnya “komando-komando yang hilang”. Sebelumnya bentuk MILF memang sudah agak longgar, akan tetapi menyusul gebrakan tahun 2000 serta  kematian Salamat Hashim di bulan Juli 2003, satuan-satuan tersebut menjadi kian mandiri.

Saat ini belum begitu jelas bagaimana pandangan pimpinan baru MILF yang mengitari pengganti Hashim, yaitu Al-Haj Murad, terhadap ikatan dengan JI. Secara resmi, MILF telah menafikkan terorisme. Karena itu, mengingat apa yang kini terungkap mengenai kaitan JI-MILF, ada tiga kemungkinan menafsirkan sikap resmi tersebut, yang seluruhnya menunjukkan dampak buruk bagi proses perdamaian.

Jika pucuk pimpinan MILF yang terlibat perundingan perdamaian memang tidak tahu-menahu tentang kerjasama dengan JI pada tingkat lokal, atau menganut sikap “jangan bertanya, jangan ungkapkan” yang memberi keleluasaan bagi komandan setempat untuk bertindak sendiri-sendiri, maka lepasnya kendali dari pusat tersebut bisa jadi berarti kesepakatan tidak mungkin dilaksanakan. Jika setidaknya beberapa pejabat utama MILF bukan saja mengetahui adanya hubungan dengan JI, bahkan memandangnya sebagai unsur penting dalam menerapkan strategi “berunding sambil berperang”, maka itikad baik yang mutlak diperlukan agar perundingan berhasil menjadi tanda tanya. Ketiga kemungkinan tersebut dapat dikaitkan dengan pengelompokan menjadi fraksi yang terjadi didalam tubuh MILF yang tampaknya kian menajam sejak kematian Salamat Hashim. 

Singapore/Brussels, 13 Juli 2004

Executive Summary

Persistent reports of links between the separatist Moro Islamic Liberation Front (MILF) and the Jemaah Islamiyah (JI) terror network overshadow and put at risk the peace process between the MILF and the Philippine government. While the MILF leadership continues to deny any ties, all evidence points to ongoing operational and training links. What is uncertain is whether top leaders are aware of the activity and unwilling to admit it, or whether members of JI and other like-minded jihadist groups have established their own personal ties to individual MILF commanders without the knowledge of the MILF leadership.

This background report, which continues a series on terrorism in South East Asia, examines the history of the JI-MILF alliance, the depth of its past cooperation and the state of the present relationship. A central paradox of the southern Philippines peace process is that it presents both the main short-term obstacle to rooting out the terrorist network and an indispensable element in any long-term remedy to terror. Attempts to move directly against terrorists embedded in MILF-controlled territory risk an escalation of violence and a breakdown of talks. Yet without a successful peace agreement, the region will continue to be marked by a climate of lawlessness in which terrorism can thrive.

The short-term imperative is to prevent a re-eruption of the war. One possible measure would be to immediately bring into force a mechanism agreed to by both sides in 2002 but never implemented for joint Philippine government-MILF cooperation against criminals taking refuge in MILF areas. This should be strengthened to address foreign terrorists explicitly.

Improving MILF accountability to the peace process in this way could be reciprocated by appointing a full-time, permanent Philippine government peace panel, adequately resourced to build consensus among key stakeholders on the shape of enhanced autonomy.

JI, now notorious for its activities especially in Indonesia, established a foothold in the southern Philippines in 1994, building on ties formed with the secessionist MILF in Afghanistan in the 1980s. Personal relationships between founding MILF chairman Salamat Hashim and JI leaders like Abdullah Sungkar and Zulkarnaen allowed it to set up training camps under MILF protection, replicating the Afghan camp system in which the organisation first took shape, and transferring deadly skills to a new generation of operatives.

As well as replenishing JI ranks in Indonesia depleted by post-Bali arrests, some of these graduates have carried out terror attacks in the Philippines in concert with local elements from the MILF and the Abu Sayyaf Group. ICG information suggests that the architect of many of these recent attacks was a Javanese graduate of the Mindanao camps, named Zulkifli. He was captured in Malaysia in late 2003, but not before overseeing the Davao bombings of March and April 2003, which killed 38 and remain a major obstacle to the peace talks.

The JI-MILF relationship is clearly continuing, but in a much more decentralised fashion. Since the Philippine army overran major MILF camps in 2000, MILF forces have been dispersed into smaller, more autonomous units, sometimes disavowed by the MILF leadership as "lost commands". The MILF has always been loose-knit, but its units became more independent following the offensive of 2000 and after Salamat Hashim's death in July 2003.

It is unclear at this stage how the new MILF leadership around Hashim's successor, Al-Haj Murad, regards the ties to JI. The MILF officially disavows terrorism. Given what is now known about JI-MILF ties, therefore, there are three possible interpretations of this official stance, all of which bode ill for the peace process.

If top MILF leaders engaged in peace negotiations are unaware of local level cooperation with JI or if they follow a "don't ask, don't tell" policy that leaves local commanders to their own devices, the lack of central control suggests it might not be possible to implement an agreement. If at least some top MILF officials are not only aware of JI ties, but see them as a crucial element of a "fight and talk" strategy, the good faith necessary for successful negotiations would be called into question. All three possibilities may be related to factional divisions within the MILF that appear to have deepened since Salamat Hashim's death.

Singapore/Brussels, 13 July 2004

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.