Report / Asia 3 minutes

Mengembalikan tanggung jawab kepada polisi Timor-Leste

Ringkasan ikhtisar

Perserikatan Bangsa-Bangsa harus mengembalikan otoritas resmi di segi keamanan kepada polisi Timor-Leste secepat mungkin. Sebuah proses yang berlarut-larut yang dimulai sejak bulan Mei telah mengambil pendekatan birokratis untuk menilai apakah mereka siap untuk mengambil alih kepemimpinan, akan tetapi kenyataan di lapangan yaitu bahwa polisi Timor-Leste sudah lama beroperasi di bawah komando mereka sendiri. Tanpa rencana yang disepakati bersama untuk mereformasi kepolisian Timor-Leste setelah krisis tahun 2006, PBB dan pemerintah Timor-Leste tidak dapat bekerja sama dengan baik dan gagal dalam pengembangan kepolisian Timor-Leste. Dengan menunda penyerahan tanggung jawab lebih lama mungkin akan semakin merusak hubungan antara misi kepolisian PBB yang ketiga terbesar di dunia dan pemerintah Timor-Leste, yang telah menolak untuk bertindak sebagai partner penuh dalam menerapkan reformasi. PBB masih memiliki peran berlanjut sebagai penasihat polisi. Agar hal ini dapat berhasil, pemerintah perlu terlibat dengan misi PBB dan menyepakati bentuk dari kemitraan ini. Agar mandat yang baru dapat berhasil, mereka perlu memanfaatkan bulan yang tersisa untuk menyusun sebuah kerangka kerja yang mendetil untuk kerja sama dengan polisi dibawah komando lokal di masa depan, sebelum mandat yang saat ini berakhir pada bulan Februari 2010.

Timor-Leste masih membutuhkan PBB, dan mundur sedikit tidak sama dengan meninggalkan Timor-Leste terlalu awal. Ada dukungan politik dari dalam negeri untuk melanjutkan kontingen polisi walaupun dengan jumlah yang lebih sedikit, setidaknya hingga pemilu nasional yang rencananya akan diselenggarakan tahun 2012. Sebuah operasi internasional yang besar tidak bisa lagi dibiarkan untuk beroperasi tanpa sebuah konsensus yang jelas mengenai tugas-tugas yang perlu dilakukan. Mandat yang baru harus dibatasi, spesifik dan disepakati bersama. PBB dapat menyediakan unit-unit untuk mem-back up keamanan, dan mendukung polisi Timor-Leste di bidang teknis seperti investigasi, penuntutan dan latihan. Cara yang paling baik untuk mengidentifikasinya yaitu melalui sebuah penilaian independen yang menyeluruh terhadap kemampuan polisi, dan memadankannya dengan bantuan penting bilateral, termasuk dari Australia dan Portugal. Sebagai gantinya, Timor-Leste harus menyadari perlunya untuk meningkatkan mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban. PBB dan badan-badan dibawahnya harus terus membantu membangun struktur-struktur ini, dan sementara itu, juga memantau situasi hak asasi manusia.

PBB telah mengambil pendekatan teknokratis dalam menghadapi tugas mereformasi kepolisian yang sangat bernuansa politik. Dikirim untuk memulihkan ketertiban setelah kerusuhan di tahun 2006, polisi PBB telah membantu menopang stabilitas di Timor-Leste, tapi kemudian gagal ketika mereka mencoba untuk memperbaiki institusi kepolisian atau meningkatkan pengawasan. Mereka tidak diprogram untuk mendorong perubahan jangka panjang semacam itu dan tidak pernah diberikan instrumen untuk melakukan hal itu. Kepolisian Timor-Leste terpecah belah dan telah dikelola dengan salah di jajaran atas; PBB salah menempatkan penekanannya pada penyebaran ratusan opsir berseragam ke pos-pos kepolisian di seluruh Timor-Leste. Mereka mengabaikan peran yang dimainkan oleh kepemimpinan sipil pada masa krisis tahun 2006 dan perlunya memperbaiki kementerian yang membawahi kepolisian sebagai bagian dari sebuah solusi jangka panjang. Penempatan orang yang tidak sesuai dengan pekerjaan, rotasi pekerjaan yang pendek, maupun kurangnya pengetahuan tentang kondisi dan bahasa setempat, telah mengurangi kemampuan polisi internasional untuk menjadi guru dan mentor yang baik. Tanpa kemampuan untuk mengeluarkan atau menerapkan sanksi disiplin terhadap polisi Timor-Leste, misi PBB tidak dapat meningkatkan pertanggungjawaban. Pemerintah menolak untuk mengesahkan undang-undang untuk mendukung peran PBB, sehingga mengirimkan signal ke polisi dari atas ke bawah bahwa pemerintah tidak mau bekerja sama.

Dengan tidak adanya strategi bersama, reformasi struktural tidak bias berkembang. Pemerintah menunjuk seorang komandan dari luar kepolisian, sehingga membahayakan upaya untuk membuat kepolisian Timor-Leste menjadi profesional. Pemerintah juga telah mengedepankan gaya kepolisian ala militer, sehingga semakin membuat tidak jelas batasan antara militer dan polisi. Fokus yang salah terhadap unit khusus yang bersenjata lengkap tidak akan memperbaiki akses ke keadilan, dan beresiko menanam bibit konflik dengan militer di masa depan. Para pemimpin Timor-Leste lebih sadar dari orang luar manapun terhadap konsekwensi fatal dari kegagalan institusionil. Untuk menghindari hal ini, Perdana Menteri Xanana Gusmao, seorang pahlawan kemerdekaan Timor-Leste, saat ini mengepalai sebuah kementerian gabungan pertahanan dan keamanan. Penyelesaian masalah secara jangka pendek berdasarkan kepribadian mungkin dapat menghentikan persengketaan antara polisi dan militer untuk saat ini, akan tetapi solusi jangka panjang tergantung pada kepastian hukum.

Untuk negara-negara anggota PBB, perebutan kekuasaan antara PBB dan salah satu negara anggotanya terhadap kepolisian berisi banyak pelajaran. Penarikan polisi PBB yang lambat di Timor-Leste kelihatannya mungkin merupakan strategi keluar yang bijaksana, tapi kenyataannya tidak. Karena tidak berhasil mengumpulkan konsensus mengenai strategi pembangunan kepolisian jangka panjang, misi ini akhirnya meninggalkan sebuah institusi kepolisian nasional yang lemah. Warisan yang paling kekal dari misi ini mungkin ada di dalam pelajaran yang dapat ia ajarkan kepada Dewan Keamanan untuk tidak keluar dari mandatnya. PBB perlu berpikir dengan cermat sebelum ikut campur dan mengambil kendali kepolisian lokal, terutama, dalam hal Timor-Leste, ketika sebagian besar dari lembaga kepolisiannya masih berfungsi. Reformasi yang rumit terhadap institusi negara tidak dapat dilakukan tanpa kesepakatan politik dari mereka yang terlibat langsung.

Dili/Brussels, 3 Desember 2009

Executive Summary

The United Nations should hand over formal control of the Timor-Leste police as soon as possible. A protracted process that began in May has taken a bureaucratic approach to assessing whether they are ready to take charge, but the reality on the ground is that the Timorese police have long operated under their own command. Without an agreed plan for reforming the country’s police after the 2006 crisis, the UN and the government have made a poor team for institutional development. A longer handover may further damage relations between the UN’s third-largest policing mission and the Timor-Leste government, which has refused to act as a full partner in implementing reforms. The UN has a continued role to play in providing an advisory presence in support of police operations. For this to work, the government must engage with the UN mission and agree upon the shape of this partnership. To make any new mandate a success, they need to use the remaining months before the current one expires in February 2010 to hammer out a detailed framework for future cooperation with the police under local command.

Timor-Leste still needs the UN and stepping back is not the same as leaving too early. There is domestic political support for a continuing albeit reduced police contingent, at least until the planned 2012 national elections. A sizeable international deployment can no longer be left to operate without a clear consensus on the task at hand. Any new mandate should be limited, specific and agreed. The UN can provide units to underwrite security and support the Timorese police in technical areas such as investigations, prosecutions and training. These would best be identified by a comprehensive independent review of police capacity, and matched with key bilateral contributions, including from Australia and Portugal. In return, the Timorese should acknowledge the need to improve oversight and accountability mechanisms. The UN and its agencies must continue to help build up these structures and in the interim monitor human rights.

The UN took a technocratic approach to the highly politicised task of police reform. Sent in to restore order after an uprising in 2006, the UN police helped shore up stability in the country but then fell short when they tried to reform the institution or improve oversight. They are not set up to foster such long-term change and were never given the tools to do so. The Timorese police were divided and mismanaged at the top; the UN misplaced its emphasis on providing hundreds of uniformed officers to local stations across the country. It neglected the role played by the civilian leadership in the 2006 crisis and the need to revamp the ministry overseeing the police as part of a lasting solution. The mismatching of people to jobs, short rotations as well as the lack of familiarity with local conditions and languages clipped the ability of international police to be good teachers and mentors. Without the power to dismiss or discipline officers, the mission could not improve accountability. The government declined to pass laws in support of the UN role, sending a defiant message of non-cooperation down through police ranks.

In the absence of a joint strategy, structural reform has been limited. The government appointed a commander from outside the police ranks, compromising efforts to professionalise the service. It has promoted a paramilitary style of policing, further blurring the lines between the military and police. The skewed attention to highly armed special units will not improve access to justice, and the ambiguity it creates risks planting the seeds of future conflict with the army. Timorese leaders are attuned more than any outsider to the deadly consequences of institutional failure. To avoid this, Prime Minister Xanana Gusmão, an independence hero, now heads a joint defence and security ministry. Political quick fixes based on personalities may keep the police and the army apart in the short term, but they add little to more lasting solutions that respect for rule of law might provide.

For the international community, this struggle over command of the police between the UN and one of its member states contains many lessons. The slow drawdown of UN police in Timor-Leste is not the prudent exit strategy it may appear. The mission has been neither a success nor failure. Unable to muster consensus on a long-term police development strategy, it leaves behind a weak national police institution. The mission’s most enduring legacy might be in the lessons it can teach the Security Council not to over-stretch its mandates. The UN should think carefully about stepping in and taking control of a local police service, particularly, as in the case of Timor-Leste, when large parts of it remain functioning. Complex reforms of state institutions cannot be done without the political consent of those directly involved.

Dili/Brussels, 3 December 2009

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.