Briefing / Asia 3 minutes

Timor Leste: Meninggalkan Kekerasan Di Masa Lalu

I. Ringkasan ikhtisar

Pemilihan Umum Timor Leste tahun 2012 akan menjadi sebuah ujian penting bagi ketahanan negara ini saat merayakan kemerdekaan mereka yang ke-10 tahun. Pemerintah koalisi belum banyak melakukan reformasi jangka panjang yang diyakini penting setelah krisis 2006, namun karena semakin banyak orang yang makmur di Timor Leste, makin banyak pula kepentingan bahwa negara ini stabil.  Hasil pemilu masih sulit untuk diprediksi karena banyaknya jumlah partai politik dan calon presiden yang ikut, dan karena pemilu bukan berbasis isu. Pemilihan umum yang sukses akan menjadi hal penting tidak hanya dalam rangka mengamankan penarikan misi penjaga perdamaian PBB yang sudah ditunggu-tunggu sejak lama dari Timor Leste, tapi juga dapat memberikan kepercayaan diri bagi para pemimpinnya untuk menghadapi beragam tantangan.

Timor Leste nampak lebih damai dibanding ketika pemilu yang terakhir di tahun 2007 lalu, tapi banyak dari akar penyebab kerapuhan masih tetap ada. Hubungan antara kalangan kecil elit politik jauh lebih bersahabat, tapi kemarahan atas apa yang terjadi di masa lalu, khususnya berkaitan dengan krisis tahun 2006 masih tetap tertanam. Selain itu jumlah pengangguran meningkat di kalangan pemuda, terutama di Dili, serta aksi-aksi kekerasan oleh kelompok pencak silat dan masih menjadi masalah yang terus terjadi. Tidak ada yang yakin seberapa dekat masalah ini akan berimplikasi pada persaingan politik, namun setiap manipulasi yang disengaja terhadap rasa-rasa frustrasi di masyarakat tersebut memiliki potensi untuk menjadi pemicu kerusuhan.

Akan ada banyak kandidat yang maju dalam pemilihan presiden dan parlemen, tapi sekali lagi kontes yang sebenarnya hanya akan terjadi diantara segelintir pemain yang sudah terkenal. Setelah pemilihan presiden putaran pertama selesai tanggal 17 Maret, dua dari kandidat-kandidat berikut kemungkinan akan lanjut ke putaran kedua di bulan April, yaitu: inkumben, Jose Ramos Horta, ketua parlemen saat ini Fernando “Lasama” de Araujo, pendahulunya Francisco Guterres “Lu Olo”, atau mantan panglima militer Timor Leste, Taur Matan Ruak. Duapuluh empat partai siap untuk bersaing dalam pemilu parlemen akhir Juni nanti, tapi yang kelihatannya mampu untuk memperoleh mayoritas suara hanya dua, yaitu: Partai Congresso Nacional de Reconstrucao de Timor-Leste (CNRT) nya Perdana Menteri Xanana Gusmao, dan partai yang memimpin pemerintahan pertama di negara itu,  Frente Revolucionaria de Timor-Leste (Fretilin). Hasilnya kemungkinan besar yaitu sebuah pemerintahan koalisi yang dibentuk oleh salah satu dari dua partai utama tersebut dengan dukungan dari 22 partai kecil yang bersaing. Luasnya kompetisi ini, yang mencakup beberapa partai baru, membuat prediksi hasil pemilu parlemen menjadi semakin sulit.

Ketegangan politik sebagian besar mengerucut menjelang hari pemilihan dan situasi keamanan masih tetap stabil meskipun ada peningkatan kecil dalam kejahatan kekerasan. Musim kampanye telah semakin dekat dan suhu politik makin meningkat, namun kapasitas aparat penegak hukum masih rendah, ini berarti akan ada banyak sumber-sumber potensi resiko keamanan. Polisi PBB dan pasukan International Stabilisation Force (ISF) yang jumlahnya kecil bisa membantu dalam pengendalian massa dan anti huru hara, tapi fokus mereka seharusnya pada tindakan-tindakan lain. Kelompok-kelompok masyarakat sipil memiliki peran dalam membantu mendidik para pemilih dan memantau kepatuhan terhadap kode etik, serta mengekspos kepada publik kemungkinan keterlibatan kelompok-kelompok bela diri dalam aksi-aksi intimidasi maupun kekerasan terkait pemilu. Hubungan Masyarakat harus menjadi bagian kunci dari pusat operasi terpadu yang direncanakan untuk dibentuk untuk merespon segala ancaman keamanan terhadap pemilu: rumor atau kabar angin telah terbukti menjadi potensi dalam memicu kekerasan dan respon yang cepat oleh polisi dalam memerangi informasi palsu dapat membantu menjaga perdamaian.  Resiko yang paling besar adalah adanya suatu bentuk impunitas yang nyaris sempurna dalam kekerasan politik, oleh karena itu para kandidat sekarang harus menjelaskan bahwa kejahatan semacam ini tidak akan lagi diampuni.

PBB juga punya peran yang harus dimainkan. Otoritas nasional akan bertanggungjawab dalam penyelenggaraan pemilihan umum Timor Leste kedua paling besar sejak kemerdekaan mereka, tapi misi PBB juga harus siap untuk mengambil baik langkah-langkah tertutup maupun terbuka sebagai respon atas setiap pelanggaran serius terhadap peraturan pemilu. Salah satu hasil dari tiga belas tahun kehadiran PBB di Timor adalah sebuah kepercayaan terhadap misinya sebagai penjamin atas pemilu yang bebas dan adil, bahkan kalaupun PBB hanya memainkan peran pendukung.

Kekerasan terkait pemilu di dalam sejarah singkat Timor Leste merupakan gejala dari persaingan politik yang sudah ada sejak masa pendudukan Indonesia serta pertaruhan persaingan politik yang tinggi.  Hubungan yang buruk diantara kalangan kecil elit politik akan pulih dengan sendirinya, namun dalam jangka menengah beberapa langkah bisa diambil untuk menurunkan ketegangan yang ada saat ini. Langkah-langkah itu termasuk menggilir jadwal pemilu presiden dan parlemen dalam tahun yang berbeda, dan mendorong pengembangan jajak pendapat yang dapat dipercaya atau tabulasi suara yang bersifat paralel. Pelaksanaan pemilu presiden dan parlemen yang bergiliran dapat menurunkan ketegangan yang biasanya muncul diantara kedua pemilu. Jajak pendapat ataupun Perhitungan Cepat (Quick Count) dapat membantu menurunkan ketegangan dalam masa kampanye dan menghilangkan sejumlah tekanan terhadap pengumuman hasil pemilu, yang biasanya dapat menjadi pemicu kerusuhan.

PBB tidak bisa meninggalkan Timor Leste kalau ada kerusuhan serius dalam pemilu ini. Tapi juga penting bagi stabilitas jangka panjang Timor Leste bahwa persaingan politik di negara ini  berjalan sehat dan damai.  Pemilu ini telah menimbulkan kekhawatiran diantara banyak warga Timor Leste kemungkinan terjadinya kembali kerusuhan. Banyak langkah-langkah reformatif yang ditangguhkan sejak tahun 2006, karena khawatir reformasi tersebut akan mengancam stabilitas. Apabila pemilu berjalan sukses, seharusnya hal ini memberi kepercayaan diri terhadap pemerintahan yang baru kelak untuk bekerja lebih keras dalam membangun konsensus dan melakukan reformasi dalam penegakan supremasi hukum.

Dili/Jakarta/Brussels, 21 Februari 2012

I. Overview

Timor-Leste’s 2012 general elections will provide an important test of the country’s resilience as it celebrates ten years of independence. The governing coalition has undertaken few of the long-term reforms seen as necessary after the 2006 crisis but increased wealth has given many a growing stake in stability. The outcome of polls remains difficult to predict given the breadth of the field in each poll and the weakness of issue-based politics. Successful elections will be important not just toward securing the long-awaited withdrawal of the country’s UN peacekeeping mission but also may give its leaders the confidence to confront its many challenges.

The country is markedly more peaceful than when general elections were last conducted in 2007, but many of the root causes of fragility persist. Relations among the small circle of political leaders are far friendlier, but anger over the past, particularly with regard to the 2006 crisis, remains deeply entrenched. There is a growing number of unemployed youth, particularly in Dili, and gang and martial arts group violence are recurrent problems. No one is sure how closely these issues will feed into political rivalry, but any deliberate manipulation of these frustrations has the potential to be incendiary.

The field will be broad in both polls but once again the real contest is between a handful of familiar players. After a first round of presidential polls on 17 March, two of the following will likely proceed to a second round in April: the incumbent José Ramos-Horta, current parliamentary speaker Fernando “Lasama” de Araújo, his predecessor Fran­ci­sco Guterres “Lu Olo”, or the former armed forces chief, Taur Matan Ruak. Twenty-four parties are poised to compete in parliamentary polls in late June, but only two look capable of winning a majority: Prime Minister Xanana Gusmão’s Congresso Nacional de Reconstrução de Timor-Leste (CNRT) and the party that headed the country’s first government, the Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (Fretilin). A more likely outcome is a coalition government formed by one of these two with a handful of the 22 smaller parties competing. The breadth of this competition, which includes several new parties, makes predicting the parliamentary results difficult.

Political tensions have largely been tempered in the lead up to polls and the security situation remains stable despite a small uptick in violent crime. As campaign season approaches and the political temperature rises, law enforcement capacity remains weak and this means the sources of potential security risks are many. The UN police and the small International Stabilisation Force (ISF) can help buttress crowd control and riot response, but the focus should be on other measures. Civil society groups have a role to play in helping educate voters and monitoring adherence to codes of conduct, as well as shining light on any proxy role in election-related intimidation or violence that martial arts groups could play. Public relations should be a key part of the planned joint operations centre for election security response: rumours have stoked violence and a quick-footed response by police in combating misinformation could help keep the peace. The greatest risk is the near-complete impunity for political violence: the candidates should make it clear now that such crimes will no longer be forgiven.

The UN also has a role to play. National authorities will take responsibility for administering the country’s second major polls since independence, but the UN mission should be ready to take both private and public steps in response to any serious violations of electoral regulations. One product of the UN’s thirteen-year presence in Timor is a strong sense of its mission as a guarantor of free and fair polls even if it plays only a supporting role.

Electoral violence in Timor-Leste’s short history is a symptom of embittered political rivalries that extend back into the resistance struggle and the high stakes of political competition. Relations between the small political elite will heal at their own pace, but several steps could be taken in the medium term to lower existing pressures. These include staggering the calendar for presidential and parliamentary polls in different years and encouraging the development of reliable opinion polling or parallel vote tabulation. A staggered calendar could lower tensions around both elections. Polling or quick counts could provide a reality check to the partisan fervour that characterises campaigning and remove some of the pressure on the announcement of results, historically a trigger of violence.

While polls unmarred by serious violence are a prerequisite for the UN’s departure, robust but peaceful political competition is important to the country’s long-term stability. This election has raised understandable nervousness among many Timorese of the prospects of a return to violence. Many difficult reforms since 2006 have been deferred in the fear that they might jeopardise the consolidation of stability. Successful polls should give the new government the confidence to put more hard work towards developing consensus and enacting reforms to strengthen the rule of law.

Dili/Jakarta/Brussels, 21 February 2012

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.