Apa yang bisa dipelajari Myanmar dari Indonesia? Perjanjian Malino
Apa yang bisa dipelajari Myanmar dari Indonesia? Perjanjian Malino
Commentary / Asia 5 minutes

Apa yang bisa dipelajari Myanmar dari Indonesia? Perjanjian Malino

Mengapa kekerasan meletus di Poso, Sulawesi Tengah antara tahun 1998-2001 merupakan sebuah cerita panjang yang dijelaskan dalam laporan kami Indonesia Backgrounder: Jihad in Central Sulawesi. Bagaimana kemudian konflik di Poso bisa dihentikan mungkin layak untuk dikaji demi kebaikan komisi yang baru saja dibentuk oleh Presiden Myanmar Thein Sein untuk menginvestigasi kekerasan antar suku yang terjadi baru-baru ini di Negara Bagian Arakan.

Pertikaian di Poso yang berlangsung dari tahun 1998 hingga 2001 merupakan bagian dari sebuah gelombang konflik antara Muslim dan Kristen yang melanda kepulauan Maluku dan Sulawesi yang pecah setelah rezim pemerintahan otoriter yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun berakhir dengan lengsernya Presiden Soeharto. Dalam serangkaian insiden-insiden kekerasan yang terjadi, ratusan orang tewas dan ribuan rumah dibakar sementara kedua komunitas saling bertempur dalam ketegangan antara kelompok Muslim dan Kristen yang seringkali diperburuk dengan keterlibatan jihadis Muslim.

Bagi Poso, sebuah kota di propinsi Sulawesi Tengah, Perjanjian Malino tahun 2001 memang tidak mengakhiri semua aksi kekerasan tapi ia tetap menjadi suatu titik balik.  Sebelumnya pecah konflik antara penduduk asli Kristen dengan pendatang Muslim. Atas nama pemerintah Megawati, Farid Husain, wakil Jusuf Kalla, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kesejahteraan Rakyat dan kemudian menjadi Wakil Presiden, memulai dialog dengan warga yang bertikai.  Inisiatif perdamaian yang dilakukan pada akhir 2001 ini terjadi ditengah situasi konflik yang sangat rumit serta  intensitas kekerasan masih tinggi.  [Kalla dan Husain belakangan memegang peran penting dalam Perjanjian Damai Helsinki yang mengakhiri pemberontakan di Aceh, baca laporan kami Aceh: A New Chance for Peace.].

Setelah melakukan konsultasi pendahuluan dengan kelompok Muslim dan Kristen, kedua komunitas yang bertikai  diundang untuk mengirim 25 orang perwakilannya untuk ikut dialog perdamaian yang dilakukan di kota Malino, Sulawesi Selatan. Pemerintah Indonesia melakukan upaya serius untuk membawa para tokoh serta para komandan lapangan dari  dari pihak-pihak yang berkonflik ke meja  perundingan.  Masing-masing pihak memilih perwakilan mereka secara berbeda. Kelompok Muslim dengan sistem ‘top down’ memilih tim dari para tokoh masyarakat. Sebaliknya kelompok Kristen dengan cara  ‘bottom up’ memilih sebuah tim akar rumput. Setelah serangkaian pembahasan, perundingan tahap akhir yang berlangsung dari tanggal 19 hingga 20 Desember 2001 akhirnya menghasilkan penandatanganan sepuluh butir “Deklarasi Malino”.

Pernyataan resmi mengenai perundingan tersebut masih ingat saat itu Kalla, yang bulan Agustus ini telah bertemu dengan Thein Sein dalam kapasitasnya sebagai ketua PMI (Palang Merah Indonesia), membacakan sepuluh butir perjanjian di hadapan para ulama setempat dan para pemimpin suku di akhir pertemuan, dengan menyatakan bahwa kedua belah pihak telah sepakat:

  1. Menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan.
     
  2. Menaati semua bentuk dan upaya penegakkan hukum dan mendukung pemberian sanksi hukum bagi siapa saja yang melanggar.
     
  3. Meminta aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan.
     
  4. Untuk menjaga terciptanya suasana damai, menolak memberlakukan darurat sipil serta campur tangan pihak asing.
     
  5. Menghilangkan seluruh fitnah dan ketidakjujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya kerukunan hidup bersama.
     
  6. Tanah Poso adalah bagian integral dari Republik Indonesia. Karena itu, setiap warga negara memiliki hak untuk hidup, datang, dan tingal secara damai dan menghormati adat istiadat setempat.
     
  7. Semua hak-hak dan kepemilikan harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sah, sebagaimana adanya sebelum konflik dan perselisihan berlangsung.
     
  8. Mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing.
     
  9. Bersama pemerintah melakukan rehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh.
     
  10. Menjalankan syariat agama masing-masing dengan cara dan prinsip saling menghormati dan menaati segala aturan yang telah disetujui, baik dalam bentuk undang-undang maupun peraturan pemerintah dan ketentuan lainnya.

Indonesia bukan Myanmar. Sejarah bangsa mereka sangat berbeda. Satu dasawarsa lalu, pemerintah Indonesia mengatakan mereka berduka atas kekerasan yang berlangsung di Poso karena konflik antar suku seperti ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” yang melandaskan berdirinya negara Republik Indonesia.  Para pendiri negara ini dengan pengertian yang begitu bijak memilih bahasa kelompok minoritas menjadi bahasa nasional. Sebaliknya, Myanmar punya sejarah yang penuh dengan kelompok etnis minoritas dan enam dekade perang sipil diantara kelompok-kelompok etnis bersenjata. Seperti yang sudah kami kemukakan, bahkan dalam bahasa Burma, jalan panjang menuju sebuah perdamaian abadi bisa dimulai dengan kelompok etnis dominan Barma “untuk membayangkan kembali” negara Myanmar sebagai sebuah komunitas yang terdiri dari berbagai etnis dan agama, yang sebenarnya memang begitu.

Langkah awal menuju ke arah itu adalah dengan mengakui bahwa UU kewarganegaraan tahun 1982 adalah sebuah produk pemerintahan otoriter masa lalu. Undang-undang yang sudah usang dan merupakan peninggalan masa kolonial dan peraturan yang opresif dari rezim militer masa lalu seharusnya menjadi target awal reformasi bagi parlemen yang masih baru. Menentukan kewarganegaraan berdasarkan dimana seseorang tinggal sebelum kedatangan Inggris tahun 1824, menurut UU Kewarganegaraan Myanmar saat ini, adalah cara yang tidak sesuai jaman dalam menangani persoalan ini.  Hal itu memarjinalisasikan sekelompok besar orang-orang – suku Rohingya – dengan memberi mereka akses yang lebih sedikit ke pendidikan dan membuat mereka menjadi lebih miskin sehingga mereka kurang mampu untuk memberi kontribusi terhadap proses transisi yang sedang berlangsung di negara ini. UU kewarganegaraan ini juga bertentangan dengan Pasal 15 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yaitu setiap orang berhak atas kewarganegaraan.  Sebuah negara yang modern dan demokratis tidak akan mempertahankan cara hidup seperti ini.

Cara hidup seperti itu juga bukan caranya ASEAN. Disaat Naypyitaw sedang mempersiapkan Myanmar menjadi ketua ASEAN untuk tahun 2014, para pemimpin negara ini seharusnya melakukan sebuah perenungan  sederhana: Bagaimana kalau setiap anggota ASEAN juga bertindak dengan standar ini? Mengatur kewarganegaraan dengan berlandaskan pada letak perbatasan yang ditetapkan oleh penjajah hampir lebih dari dua ratus tahun yang lalu akan menimbulkan sebuah bencana demografis yang akan mengakibatkan puluhan juta orang yang berada dalam batas-batas sepuluh negara anggotanya kehilangan tempat tinggal dan tercabut hak pilihnya. Anggota-anggota ASEAN yang lain untuk alasan pragmatis seharusnya memberitahu kepada Myanmar bahwa hal itu sudah tak bisa lagi diterima.

Hak kewarganegaraan merupakan salahsatu prinsip utama yang mendasari Deklarasi Malino. Setiap orang harus diperlakukan terutama sekali sebagai warga Indonesia yang kedudukannya sederajat dibawah hukum, daripada sebagai anggota kelompok agama. Indonesia belum sempurna dan masih kesulitan dengan gagasan yang mendasar ini , terutama dengan kelompok-kelompok Muslim minoritas seperti Ahmadiyah, Syiah.  Disamping itu, hubungan antara Muslim dan Kristen di tempat-tempat seperti PosoAmbon dan Jawa Barat masih bisa tegang. Tapi proses perdamaian di Poso bisa memperlihatkan  beberapa langkah praktis untuk menemukan jalan keluar dari pembunuhan dan pengrusakan yang ditimbulkan oleh kebencian antar kelompok agama.  Contohnya, setelah Deklarasi Malino ditandatangani, ia disosialisasikan oleh kedua belah pihak di tingkat akar rumput, maupun oleh pejabat lokal dan militer. Dua komisi gabungan dibentuk untuk menangani hukum dan ketertiban serta menyelesaikan masalah ketidaksetaraan di bidang sosial dan ekonomi.  Pemerintah kemudian memberikan dana sebesar 10juta dollar untuk mengembalikan seluruh pengungsi ke tempat asal masing-masing dan rekonstruksi.

Malino bukanlah sebuah model, roadmap, ataupun solusi yang standar buat Myanmar, tapi ada manfaatnya dengan mengingat deklarasi dan proses di belakangnya, karena ia membuat kita dapat mulai membayangkan sebuah jalan keluar dari ketegangan yang berlangsung di Negara Bagian Rakhine.

Postscript: Teks perjanjian Malino II bisa ditemukan disini.

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.