Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Sisi Gelap Dari Jama'ah Ansharut Tauhid (JAT)

Ringkasan Ikhtisar

Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), organisasi yang didirikan oleh Abu Bakar Bas’asyir pada September 2008 sejak awal mulanya merupakan organisasi yang membingungkan. JAT yang seolah-olah merupakan organisasi terbuka juga mempunyai anggota yang diketahui memiliki kaitan dengan sejumlah DPO teroris. Organisasi ini telah menerima banyak anggota Jemaah Islamiah (JI), tapi JAT tidak sefaham dengan kepemimpinan JI mengenai strategi dan taktik. Mereka berkhotbah perlunya berjihad melawan musuh-musuh Islam, tapi bersikeras bahwa kegiatan JAT tidak melanggar hukum – meskipun pada prinsipnya mereka menolak seluruh hukum buatan manusia sebagai haram. JAT merupakan sebuah ormas tapi secara keseluruhan bergantung pada satu orang, yaitu Ba’asyir, yang tanpanya akan cepat bubar. JAT telah menjadi sebuah elemen penting dalam jaringan kelompok jihadi di Indonesia, tapi selama ini telah menjadi sasaran kritik tajam dari beberapa sekutunya. Bila sosok JAT beserta berbagai wajah yang dimilikinya bisa diketahui, dan keretakan ideologi yang telah diakibatkannya, mungkin kelemahan-kelemahan dan perselisihan yang terjadi di dalam gerakan jihadi di Indonesia saat ini bisa lebih dimengerti. Report ini juga menyoroti bagaimana pengaruh Ba’asyir yang masih kuat tapi kemungkinan mulai memudar.

Sisi gelap kegiatan JAT menjadi perhatian media pada tanggal 6 Mei 2010, setelah Densus 88 menggerebek markas Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) di Jakarta dan menuduh tiga petinggi JAT terkait pengumpulan dana untuk sebuah kamp latihan tempur yang terungkap di Aceh akhir bulan Februari. Pada tanggal 12 Mei, polisi menggelar rekonstruksi pertemuan di Jakarta Selatan yang melibatkan dua orang (yang sekarang ditahan), yang diketahui menjadi pelatih kamp training tersebut, dengan satu orang lain, yang memakai gantungan nama bertuliskan “Abu Bakar Ba’asyir”. Tuduhan tentang keterlibatan orang JAT dalam pencarian dana dan latihan tempur dengan segera memicu spekulasi bahwa Ba’asyir akan ditangkap lagi dalam waktu dekat.

Apabila Ba’asyir ditangkap, untuk yang ketiga kalinya sejak Bom Bali I, dampaknya akan terbatas, baik terhadap ekstrimisme maupun terhadap politik di Indonesia. Ba’asyir selama ini telah menjadi duri bagi pemerintah sejak awal tahun 1970an. Ia merupakan sesepuh gerakan radikal di Indonesia, tapi ia bukan penggerak utama maupun ideolog yang paling penting, dan banyak diantara sesama jihadis yang mengkritiknya, menyebut Ba’asyir kurang punya kemampuan strategi atau administratif.

Namun demikian, status selebriti Ba’asyir, program dakwah yang aktif, dan perekrutan anggota yg cepat, tanpa proses kaderisasi yang berarti, telah membuat JAT menjadi sebuah organisasi dengan struktur berskala nasional hanya dalam waktu dua tahun sejak pendiriannya. Rekrutmen dilaksanakan melalui tabligh akbar dan pengajian yang lebih kecil, terbuka untuk umum, dimana Ba’asyir dan ustadz-ustadz lain menghimbau pengikutnya untuk menerapkan syariat secara kuffah, menolak sistem demokrasi, dan berjihad terhadap musuh. Wajah publik ini rupanya menjadi semacam cover untuk lingkaran kecil didalam JAT yang mendukung kekerasan. JAT tidak bisa bertahan lama sebagai organisasi berwajah dua – banyak orang ditarik ke JAT karena kegiatan dakwah yang sifatnya militan tapi sah. Kalau ternyata betul-betul pemimpinnya terkait aksi teroris, banyak anggotanya pasti keluar.

Sebetulnya, proyek jihadi di Indonesia sudah gagal. Terpecahbelahnya gerakan radikal dan terus-menerus membuat aliansi baru merupakan reaksi terhadap kegagalan ini. Tak ada indikasi apapun bahwa gerakan ekstrimis ala Noordin Top sedang meningkat. Yang kita lihat justru adalah wajah lama membungkus ide lama dengan kertas baru. Untuk kedepan, tantangan yang lebih berat untuk Indonesia adalah bagaimana menangani aspirasi JAT yang mengirim pesan ke publik bahwa demokrasi tidak cocok dengan Islam; bahwa hanya daulah islamiyah bisa menghidupkan nilai-nilai Islam; dan syariat Islam harus menjadi sumber keadilan. 

Jakarta/Brussels, 6 Juli 2010

Overview

Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT), led by Indonesia’s best-known radical cleric Abu Bakar Ba’asyir, has been an enigma since its founding in 2008. An ostensibly above-ground organisation, it has embraced individuals with known ties to fugitive extremists. It has welcomed many members of the militant Jema’ah Islamiyah (JI) but clashed with the JI leadership over strategy and tactics.  It preaches jihad against Islam’s enemies but insists it stays within the law – though it rejects man-made laws as illegitimate.  It is a mass membership organisation but wholly dependent on Ba’asyir, without whom it would quickly disintegrate. It has become an important element in the network of Indonesian jihadi groups but has been the target of harsh criticism from some erstwhile allies. Understanding JAT’s nature, its many faces and the ideological rifts it has generated helps illuminate the weakness and divisions within the Indonesian jihadi movement today. It also highlights the ongoing but probably diminishing influence of Ba’asyir.

The dark side of JAT’s activities came into the spotlight on 6 May 2010, when Indonesian police raided its Jakarta headquarters and charged three officials with raising funds for a militant training camp uncovered in Aceh in late February. On 12 May, police carried out a reconstruction of a meeting in South Jakarta involving two men now in custody known to have served as camp instructors and another, who wore a large name tag reading “Abu Bakar Ba’asyir”. JAT’s alleged involvement in fundraising and combat training immediately led to speculation that another arrest of 72-year-old Ba’asyir was imminent.  

Even if he is arrested – for the third time since the first Bali bombs – the impact will be limited, both in terms of Indonesian extremism and the domestic political fallout. Ba’asyir has been a perpetual thorn in the side of successive governments since the early 1970s. He is very much the elder statesman of Indonesia’s radical movement, but he is neither the driving force behind it now nor its leading ideologue, and he has numerous critics among fellow jihadis who cite his lack of strategic sense and poor management skills.

That said, Ba’asyir’s celebrity status and an active religious outreach (dakwah) campaign have turned JAT into an organisation with a nationwide structure within two years of its founding. It recruits through mass rallies and smaller religious instruction sessions in which Ba’asyir and other JAT figures fulminate against democracy, ad­vocate full application of Islamic law, and preach a militant interpretation of jihad. That public face gives “plausible deniability” to what appears to be covert support on the part of a small inner circle for the use of force. JAT cannot have it both ways: its attraction in the beginning was almost certainly the non-violent dakwah option it seemed to offer – militancy without the risks. Any esta­blished link to violence will lose it followers.

The truth is that the jihadi project has failed in Indonesia. The rifts and shifting alignments so evident now in the jihadi community are a reaction to that failure. There is no indication that violent extremism is gaining ground. Instead, as with JAT’s formation, we are seeing the same old faces finding new packages for old goods. The far bigger challenge for Indonesia is to manage the aspirations of the thousands who join JAT rallies for its public message: that democracy is antithetical to Islam, that only an Islamic state can uphold the faith, and that Islamic law must be the source of all justice.

Jakarta/Brussels, 6 July 2010

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.