Briefing / Asia 2 minutes

Indonesia: Kekhawatiran Pra-Pemilu di Aceh

I. Rangkuman Ikhtisar

Tiga tahun setelah penandatanganan Nota Kesepahaman Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kondisi di Aceh secara politik penuh gairah tetapi mudah bergejolak. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kekhawatiran tersebut. Seiring dengan berjalannya persiapan pelaksanaan pemilihan anggota legislatif bulan April 2009 yang diikuti 44 partai (enam lokal, 38 nasional) yang akan bersaing, TNI khawatir Partai Aceh (yaitu partai milik GAM) akan menang dan menguasai DPR Aceh (DPRA) kemudian menentang otoritas Jakarta. Partai Aceh khawatir Jakarta akan melakukan intervensi secara terbuka maupun diam-diam, dan pada saat yang sama partai-partai kecil khawatir Partai Aceh akan melakukan intimidasi. Panitia pemilu was-was ketidaksesuaian antara Jakarta dan Aceh tentang persyaratan calon legislatif (caleg) bisa menunda pelaksanaan pemungutan suara, sementara perjuangan masalah yang lain dengan pemerintah pusat sedang berkembang. Selain itu, setiap orang khawatir dengan kondisi kesehatan Gubernur Irwandi Yusuf yang tiba-tiba jatuh sakit pada bulan Agustus lalu. Secara resmi tidak disebutkan sakit apa, tetapi kabar yang beredar beliau menderita stroke ringan. Padahal Gubernur Irwandi memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya dalam mengelola tuntutan-tuntutan yang bersaing di Aceh paska konflik.

Kampanye atau upaya-upaya untuk membentuk dua propinsi baru di Aceh memanas, meskipun tampaknya tidak mungkin akan terjadi pemekaran sebelum pemilu. Namun di dua kabupaten yang memimpin kampanye pemekaran ini, yaitu Bener Meriah dan Aceh Tengah, ada kekhawatiran serius mengenai kemungkinan terjadinya kekerasan antara ex-milisi dan GAM, terutama jika caleg lokal secara sengaja menyulut sentimen anti-GAM.

Selain itu, insiden-insiden aksi kriminal bersenjata terus mewarnai Aceh, banyak diantaranya melibatkan bekas tentara GAM. Tingkat pengangguran diantara bekas pemberontak GAM tetap tinggi, begitu juga dengan ketidakpuasan di antara anak buah GAM yang merasa penyebaran manfaat reintegrasi tidak merata. Banyak dari anggota struktur militer GAM sebelumnya, yang sekarang disebut Komite Peralihan Aceh (KPA), terus menuntut bagian dari kontrak-kontrak publik dan bisnis dan terlibat dalam kegiatan premanisme yang lain. Ada juga pelaku kriminal yang memakai nama GAM untuk menakut-nakuti, tapi sebenarnya mereka hanya terkait secara tidak langsung dengan GAM. Para pemimpin GAM, dari gubernur sampai ke bawah, sudah berkali-kali menyatakan bahwa polisi dapat dan sebaiknya menindak siapapun yang melakukan tindak kriminal tanpa melihat dari organisasi mana ia berasal, namun masalahnya lebih dari soal penegakan hukum, yaitu sifat organisasi KPA sendiri yang tidak mengharuskannya melaporkan pertanggungjawaban kepada siapapun.

Bagi banyak pimpinan GAM, pertanyaan utamanya tetap mengenai pelaksanaan perjanjian Helsinki secara penuh, atau bahkan pelaksaan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU no 11/2006, yaitu undang-undang yang dibentuk berdasarkan perjanjian Helsinki), secara penuh. Isi dari peraturan pelaksanaan UU ini telah menjadi sumber pertikaian antara para birokrat di Jakarta yang kebanyakan menganggap Aceh tak berbeda dengan propinsi lain, dengan para pemimpin politik di Aceh yang bertekad untuk membuat pemerintahan sendiri menjadi kenyataan. Pendirian untuk mewujudkan pemerintahan sendiri inilah yang seringkali dianggap sebagai upaya separatisme oleh para politikus konservatif, termasuk sejumlah anggota TNI.

Ditengah-tengah kekhawatiran pra-pemilu ini, tujuan yang harus segera diwujudkan yaitu untuk memastikan bahwa hari-hari menjelang pemilu akan bebas dari kekerasan. Sementara tujuan untuk jangka waktu yang lebih panjang yaitu memastikan bahwa pemerintah pusat dan para donor tidak begitu saja menganggap Aceh sebagai cerita sukses dan buru-buru mengerjakan proyek yang lain dan melupakan Aceh. Jakarta perlu menerima bahwa otonomi di Aceh belum lengkap, dan GAM perlu mengendalikan orang-orangnya di KPA. Perdamaian di Aceh bisa langgeng, tapi tidak boleh dianggap enteng.

Jakarta/Brussels, 9 September 2008

I. Overview

Three years after the 15 August 2005 signing of the Helsinki Memorandum of Understanding between the Indonesian government and the Free Aceh Move­ment (Gerakan Aceh Merdeka, GAM), Aceh is politically vibrant but on edge. The sources of unease are several. As preparations get underway for the April 2009 parliamentary elections with 44 parties – six local, 38 national – in contention, the mil­itary is worried about Partai Aceh, the GAM party, winning control of local legislatures and challenging Jakarta’s authority. Partai Aceh is worried about overt or covert interference from Jakarta, and smaller parties are worried about intimidation by Partai Aceh. Election officials are concerned a dispute between Jakarta and Aceh over candidate requirements could delay the polls, and other struggles with the central government are brewing. Everyone is worried about the health of Governor Irwandi Yusuf, a GAM leader with unparalleled ability to manage competing demands in post-conflict Aceh, who suffered a sudden illness – officially undisclosed but widely reported as a slight stroke – in August.

The campaign to create two new provinces within Aceh is heating up, although there is no chance of a division before the elections. But in two districts leading the campaign, Bener Meriah and Central Aceh, there is real concern about possible violence between ex-militia and GAM, especially if local candidates deliberately fuel anti-GAM sentiment.

In addition, incidents of armed criminal activity continue to plague the province, many of them involving former GAM combatants. The level of unemployment among former rebels remains high, as does disgruntlement in GAM ranks about perceived inequitable distribution of reintegration benefits. Many members of GAM’s former military structure, now called Komite Peralihan Aceh (KPA), continue to demand cuts from businesses and public contracts and engage in other forms of thuggish activity. There are also criminals who use GAM’s name to generate fear but have only tangential links to the organisation. GAM leaders from the governor on down have stated repeatedly that the police can and should prosecute anyone responsible for criminal offences regardless of affiliation, but the problem goes beyond law enforcement to the unaccountable nature of the KPA itself.

For many GAM leaders, the central question remains full implementation of the Helsinki agreement, or even full implemen­tation of the Law on the Governing of Aceh (Law 11/2006), the watered down legal embodiment of the pact. The content of the law’s implementing regulations has become a struggle between bureaucrats in Jakarta, many of whom see Aceh as just another province, and political leaders in Aceh determined to make self-government a reality. It is the latter stance that political conservatives, including many in the military, too often interpret as separatist.

In the midst of the pre-poll anxiety, the immediate goal should be to ensure that the lead-up to the election is violence-free. The longer-term goal is to ensure that the central government and donors do not simply write Aceh off as a success story and move on to other things. Jakarta needs to accept that autonomy in Aceh is not yet complete, and GAM needs to bring the KPA under control. The peace is sustainable, but no one should take it for granted.

Jakarta/Brussels, 9 September 2008

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.