Briefing / Asia 3 minutes

Indonesia: Rusuh lagi di Ambon

Ringkasan Ikhtisar

Bentrokan yang terjadi tanggal 11 September 2011 antara Muslim dan Kristen di Ambon, ibukota propinsi Maluku, dan kekerasan sporadis yang terjadi kemudian menimbulkan kekhawatiran konflik agama yang mendera wilayah ini dari tahun 1999 hingga 2002 terulang kembali. Kali ini, sebuah upaya luarbiasa dari para aktivis yang menamakan diri “provokator perdamaian” dan pejabat setempat telah berhasil mencegah kekerasan sehingga tidak meluas ke daerah lain di Maluku. Tapi kerusuhan ini telah memicu upaya-upaya oleh kelompok ekstrimis di luar Maluku untuk memanipulasi ketegangan antar agama sampai rupanya menjadi motivasi untuk peledakan bom di gereja Kepunton Solo, Jawa Tengah tanggal 25 September, seolah-olah sebagai aksi balas dendam atas kegagalan pemerintah membela komunitas Muslim.

Kejadian ini menyingkap dampak jangka panjang dari konflik sebelumnya, yaitu dalamnya segregasi diantara kedua komunitas, dan betapa lemahnya polisi di segala aspek: dari hubungan masyarakat, intelijen, kemampuan penyidikan, sampai tingkat kesiapan. Pemerintah harus segera menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai bagaimana kerusuhan bermula, siapa yang melepaskan tembakan dan kenapa peluru tajam dan bukan gas air mata yang dipakai oleh aparat keamanan. Selain itu pemerintah juga harus membangun kembali rumah-rumah yang dirusak atau dibakar, dan menangani kebutuhan para pengungsi tanpa dikorupsi. Sebuah penilaian yang independen dan terperinci mengenai kinerja polisi harus menemukan dimana kekurangan dan apa solusinya. Dan yang paling penting, pemerintah, masyarakat sipil dan donor harus memperkuat upaya-upaya untuk membangun interaksi antara kedua komunitas, lewat program-program akar rumput yang praktis, yang menguntungkan kedua belah pihak, bukan sekedar dialog lintas agama antara elit.

Kerusuhan tanggal 11 September dipicu oleh kematian seorang tukang ojek Muslim, Darfin Saimin, pada tanggal 10 September. Polisi mengatakan ia meninggal karena kecelakaan; namun berdasarkan jenis lukanya dan beberapa factor lain, keluarga yakin ia dibunuh. Pesan-pesan sms bahwa ia telah disiksa dan dibunuh oleh orang Kristen ramai beredar, dan ketika Darfin dimakamkan (sekitar jam 1.30 siang, tanggal 11 September), ratusan pelayat sudah berkumpul. Kerusuhan meletus ketika mereka meninggalkan pemakaman dan berlanjut di dua wilayah hingga jam 9 malam, yang mengakibatkan tiga orang tewas dan puluhan luka-luka. Lebih dari 100 rumah penduduk, sebagian besar Muslim tapi ada juga yang Kristen, dibakar habis. Sekitar jam dua pagi keesokan harinya, sebuah bentrokan yang merenggut nyawa empat korban tembak pecah di ujung kota yang lain, di kawasan yang sensitif yang membatasi kedua komunitas. Sekitar 50 rumah warga Kristen dibakar. Tanggal 13 September, pasar, sekolah dan kantor-kantor kembali beraktivitas seperti biasa, tapi sekarang ada sekitar 4,000 pengungsi di Ambon, beberapa diantaranya telah kehilangan rumah yang keempat kalinya dalam kurun waktu dua belas tahun. Polarisasi makin kuat, dengan sebagian warga

 

Kristen percaya tukang ojek meninggal karena kecelakaan, sementara warga Muslim mempercayai ia dibunuh, dan kedua belah pihak yakin ada provokator di belakang kerusuhan.

Spekulasi mengenai siapa yang mungkin diuntungkan dari kerusuhan ini – TNI, polisi, politisi setempat, politisi nasional, atau kelompok ekstrimis – mengaburkan fakta bahwa Ambon paska-konflik adalah sebuah kota yang tegang dan mudah tersulut, meskipun ada usaha untuk memunculkan citra “Ambon Manise”. Pertikaian geng antar kampung sering terjadi, begitu juga kejahatan biasa, yang hanya karena agama korban atau pelaku, bisa langsung menjadi pertikaian antar agama. Setiap orang tahu dimana perbatasan antara komunitas Muslim dan Kristen; sekolah umum juga tersegregasi. Di tempat-tempat dimana kedua komunitas berbaur, seperti di universitas negeri, kantor pemerintah dan beberapa pasar besar, ada obsesi bahwa proporsi dari masing-masing komunitas mesti berimbang. Kepadatan penduduk yang tinggi, diperparah dengan mengalirnya pendatang dari Sulawesi Tenggara, tidak membantu. Oleh karena itu, meskipun banyak di Ambon yang percaya bahwa kerusuhan yang baru lalu terjadi karena telah direncanakan sudah ada cukup banyak bara untuk bisa menyalakan api secara spontan.

Pemerintah di Jakarta memperlihatkan keprihatinan mereka dengan mengirim Panglima TNI, Kapolri dan Menkopolhukam, ke Ambon tanggal 15 September untuk berkoordinasi dengan pejabat dan pemimpin masyarakat setempat untuk membahas solusinya; dan mengirim sebuah tim khusus penyidik dari mabes Polri untuk melakukan penyelidikan terhadap Tempat Kejadian Perkara (TKP). Pemerintah juga bertindak cepat untuk menghalangi pihak-pihak yang berpotensi mengacau pergi ke Ambon untuk memanfaatkan kerusuhan. Tapi, tiga minggu setelah kekacauan meletus, isu mengenai “serangan oleh Salibis” terhadap Muslim di Ambon masih memicu emosi di situs-situs radikal. Ketidakpuasan dari masa lalu dimunculkan lagi dan mulai beredar alur cerita baru tentang ketertindasan dan ketidakadilan terhadap komunitas Muslim. Sebuah analisa forensik yang profesionil terhadap kematian Darfin dan rehabilitasi sesegera mungkin terhadap perumahan warga Muslim dan Kristen yang dibakar mungkin bisa membantu meredamkan emosi. Tindakan jangka panjang juga diperlukan untuk meningkatkan kinerja kepolisian dan merujukkan kedua komunitas.

Jakarta/Brussels, 4 Oktober 2011

I. Overview

Clashes on 11 September between Muslims and Christians in Ambon, capital of Maluku province, and sporadic incidents thereafter raised fears of a return to the communal fighting that wracked the region from 1999 to 2002. This time, an extraordinary effort by grassroots “peace provocateurs” and local officials largely kept the violence from spreading further in Maluku. But the unrest triggered efforts by extremists elsewhere to manipulate communal tensions, apparently motivating the bombing of a church in Solo, Central Java on 25 September.

The outbreak exposed the lasting impact of the earlier conflict, the depth of the fault-lines between the communities and glaring police inadequacies on every count: community relations, intelligence, investigative capabilities and preparedness. The government must quickly answer questions about how the violence started, who opened fire and why, as well as rebuild homes and address the needs of newly displaced without the usual corruption. An independent review of local police performance should identify shortcomings and solutions. Most importantly, government, civil society and donors must intensify efforts to build interaction between the communities through practical projects of mutual benefit.

The violence was sparked by the death on 10 September of Darfin Saimin, a Muslim motorcycle taxi driver. Police said it was an accident; circumstantial evidence convinced the family he had been murdered. Text messages that he had been tortured and killed by Christians began circulating, and by the time Darfin was buried (about 1:30pm on 11 September), hundreds of mourners had gathered. Violence erupted as they left the cemetery and continued in two areas until about 9pm, leaving three dead and dozens wounded. Over 100 homes, mostly Muslim but about twenty Christian, were burned to the ground. Around two the next morning, a clash that claimed four shooting victims erupted at the opposite end of town, in a sensitive area dividing the communities. About 50 Christian houses were burned.

By 13 September, markets, schools and offices were returning to normal, but Ambon had some 4,000 newly displaced, with some having lost their homes for the fourth time in twelve years. Polarisation was greater than ever, with mostly Christians believing the accident theory, most Muslims believing the murder theory and many on both sides seeing provocateurs active from the sidelines.

Speculation about who might possibly benefit from the violence – the army, the police, local political figures, national political figures, extremists – obscures the fact that post-conflict Ambon is a tense, violent and divided city, much as local boosters like to evoke the idyllic image of “Sweet Ambon” (Ambon Manise). Inter-village gang fights are frequent, as are common crimes that, because of the victim’s or perpetrator’s religion, can instantly take on communal overtones. Everyone knows where the borders are between Muslim and Christian communities; public schools are largely segregated. Where the two groups mix, in the state university, government and a few large markets, there is an obsession with communal balance. A high population density, exacerbated by a steady influx of economic migrants from Southeast Sulawesi, does not help. Thus, even though many in Ambon believe that the latest violence had to be planned rather than spontaneous, there was more than enough kindling to start the fire.

The government in Jakarta made clear its concerns by taking two unusual steps: sending its top three security officers – the armed forces commander, the police chief and the coordinating minister for political, security and legal affairs – to Ambon on 15 September to meet with local officials and community leaders to discuss solutions; and sending a team of investigators from police headquarters to examine the accident/crime scene. It also acted quickly to stop potential troublemakers from travelling to Ambon to exploit the unrest. Three weeks after trouble erupted, however, the issue of “attacks by Crusaders” against Muslims in Ambon is still roiling extremist websites. Old grievances are being dredged up, and a new narrative of Muslim persecution is taking root that needs urgently to be countered. An independent forensic analysis of Darfin’s death and quick rehabilitation of burned-out neighbourhoods would help. Longer term action is also needed to improve policing and break down communal barriers.

Jakarta/Brussels, 4 October 2011

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.