Report / Asia 3 minutes

Melemahkan Jaringan Kelompok Mujahidin di Indonesia: Pelajaran dari Maluku dan Poso

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISA

Dengan adanya serangan teroris kedua di Bali, kebutuhan untuk memahami jaringan Muslim militan di Indonesia semakin mendesak. Dua buah peristiwa kekerasan pada bulan Mei 2005 – yaitu terbunuhnya beberapa anggota polisi Brimob di Pulau Seram, Maluku dan pengeboman sebuah pasar di daerah Tentena, Poso – memberikan studi kasus mengenai bagaimana jaringan/network tersebut terbentuk dan beroperasi. Melemahkan jaringan tersebut merupakan kunci untuk mencegah kekerasan berlanjut, termasuk terorisme.

Di Maluku dan Poso, dua lokasi dimana konflik antar agama yang paling hebat setelah jaman Soeharto terjadi, salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan mengadakan program yang ditujukan bagi mereka yang pernah bertempur (didaerah konflik) dan para mujahidin yang akan bebas dari penjara. Orang-orang ini seringkali menjadi bagian dari jaringan yang merentang luas hingga melampaui dua daerah konflik tersebut. Namun jika mereka dapat di ‘integrasikan kembali’ kedalam kehidupan masyarakat biasa, hasrat mereka untuk membantu para mujahidin di tempat lain di Indonesia, atau terlibat dalam kekerasan, mungkin dapat berkurang.

Menyikapi masalah keadilan yang lebih luas serta masalah keamanan, mungkin juga dapat membantu.

Studi atas peristiwa Seram dan Tentena mengindikasikan bahwa daerah konflik tersebut masih menjadi rumah bagi “sisa-sisa mujahidin” yang berangkat ke daerah konflik tersebut dari daerah lain di Indonesia untuk bertempur dan tidak pernah meninggalkan daerah itu lagi; yang sudah kembali ke daerah asal mereka namun masih tetap berhubungan dengan orang-orang yang mereka latih maupun orang-orang yang pernah bertempur bersama mereka didaerah konflik tersebut; atau yang direkrut dari daerah setempat dan terus aktif di kalangan mujahidin meskipun konflik sudah semakin berkurang.

Jaringan militan di Maluku dan Poso tetap kuat karena beberapa hal:

  • Para anggota dari organisasi-organisasi mujahidin besar di Indonesia – yaitu Jemaah Islamiyah (JI), pecahan maupun cabang dari Darul Islam (DI), KOMPAK dan lainnya -- melihat Maluku dan Poso sebagai daerah dimana “musuh Islam”, termasuk kaum Kristen didaerah tersebut, terus dianggap sebagai ancaman bagi komunitas Muslim;
     
  • Mereka percaya bahwa sebagian dari Maluku dan Poso, namun khususnya Poso, memiliki potensi untuk dijadikan qoidah aminah, yaitu sebuah daerah terlindung dimana penduduknya dapat hidup berdasarkan prinsip Islam dan menerapkan syariat Islam. Dalam pandangan mereka, basis semacam itu kemudian dapat dijadikan benteng untuk sebuah negara Islam. Karena itu, maka Maluku dan Poso terus menjadi fokus bagi upaya dakwah dan perekrutan anggota baru mereka;
     
  • Bagi sebagian dari mereka yang pernah bertempur di daerah konflik, baik dari daerah setempat maupun luar, kombinasi dari pelatihan militer serta ikut dalam pertempuran, mungkin merupakan pengalaman yang sangat berarti bagi mereka. Sehingga bisa jadi, sulit bagi mereka untuk kembali ke kehidupan ‘sipil’ yang biasa-biasa saja, kecuali ada pilihan lain yang lebih baik; dan
     
  • Adanya konsentrasi para bekas mujahidin di kedua daerah konflik tersebut menarik bagi buronan polisi yang dimasa lalu sudah menemukan network yang siap membantu mereka.

Serangan terhadap pos polisi Brimob di Pulau Seram pada tanggal 16 Mei 2005, secara khusus memperlihatkan bagaimana orang-orang dengan latar belakang yang beraneka ragam dari berbagai network, dapat bersatu dan membentuk sebuah kelompok operatif. Serangan tersebut melibatkan anggota KOMPAK, Darul Islam, sebuah organisasi yang berbasis di Poso, dan kemungkinan juga JI. Namun kelompok penyerang tersebut kelihatannya tidak diorganisir melalui hirarki organisasi apapun. Memiliki pengalaman berlatih dan bertempur bersama-sama di masa-masa awal konflik di Poso dan Maluku kelihatannya lebih penting, dan menjadi prinsip yang mengatur. Ikatan tersebut juga cukup kuat untuk mengumpulkan dari berbagai daerah anggota tim penyerang yang berasal dari Jawa, Sulawesi, Sumatra dan Maluku.

Peledakan bom di pasar Tentena, yaitu kota yang berpenduduk mayoritas Kristen, lebih misterius. Dalam penyelidikannya, polisi telah menahan lebih dari selusin orang, namun di antara mereka tidak ada yang dijadikan tersangka dan identitas pelaku masih belum jelas.

Hal ini telah menandakan betapa kompleks jaringan yang terlibat dalam aksi kekerasan yang terjadi baru-baru ini di daerah tersebut. Orang-orang yang terlibat dalam kekerasan lain di Poso tidak hanya mereka yang berada di kalangan para mujahidin, namun juga melibatkan pejabat lokal dan pimpinan geng.

Salah satu kebutuhan di daerah konflik ini adalah usaha penegakan hukum yang lebih baik. Masalah penegakan hukum ini telah ada sejak lama dan bukan hanya terjadi saat ini. Namun perbuatan polisi, khususnya salah tangkap dan memperlakukan tahanan dengan buruk, telah menjauhkan polisi dari masyarakat setempat, dan membuat masyarakat enggan untuk membantu penyelidikan polisi. Kegagalan aparat keamanan di masa lalu untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat yang terancam, menjadikan orang-orang yang menjadi hakim sendiri diperlakukan sebagai pahlawan. Jaksa, pengacara dan hakim telah menjadi sasaran intimidasi, dan perbuatan yang lebih buruk lagi. Selain itu, pelaku kekerasan sering dijatuhi vonis tak bersalah yang patut dipertanyakan, atau bergabung lagi dengan jaringan mereka setelah menjalani hukuman yang pendek.

Langkah-langkah yang patut diambil antara lain: perlakuan yang lebih baik terhadap tahanan, pengawasan terhadap peredaran senjata api, koordinasi yang lebih baik diantara badan intelijen, dan hukuman yang serius bagi pelaku tindak kejahatan serius.

Kebutuhan yang lain yaitu melibatkan secara langsung veteran lokal dari kekerasan Poso dan Maluku, untuk mengintegrasikan mereka kembali kedalam kehidupan ‘sipil’. Salah satu kemungkinan yaitu dengan menghubungkan program reintegrasi dengan program ‘asimilasi’. Program asimilasi ini sudah diterapkan di Lembaga Pemasyarakatan di Indonesia, yaitu tahanan yang sebentar lagi akan dibebaskan diijinkan untuk bekerja di luar tahanan pada siang hari, dibawah pengawasan ketat. Hal ini dapat menjadi jalan untuk memperkenalkan jaringan ini kepada lingkungan sosial yang baru, dan pada saat yang sama memberikan mereka alternatif selain kekerasan.

Jakarta/Brussels, 13 Oktober 2005

Executive Summary

In the wake of a second terrorist attack on Bali, the need to understand Indonesia's violent jihadist networks is greater than ever. Two incidents in May 2005 -- the execution of paramilitary police in Ceram, Maluku, and the bombing of a market in Tentena, Poso -- offer case studies of how those networks are formed and operate. Weakening the networks is key to preventing further violence, including terrorism. In Maluku and Poso, sites of the worst communal conflicts of the immediate post-Soeharto period, one place to start is with programs aimed at ex-combatants and imprisoned mujahidin due for release. These men are often part of networks that extend beyond the two conflict areas, but if they can be "reintegrated" into civilian life, their willingness to support mujahidin elsewhere in Indonesia and engage in violence themselves might be lessened. Addressing broader justice and security issues would also help.

A study of the Ceram and Tentena incidents suggests that the conflict areas continue to be home to "leftover mujahidin" who went there to fight from other parts of the country and never left; who returned home but maintained regular contact with people they had trained or fought with there; or who were locally recruited and continued to be active in jihadist circles long after the conflicts waned.

Violent jihadist networks remain strong in these areas for several reasons:

  • members of the major jihadist organisations in Indonesia -- Jemaah Islamiyah (JI), some splinters and offshoots of Darul Islam (DI), KOMPAK and others -- see Maluku and Poso as areas where "enemies of Islam", including local Christians, continue to pose a threat to the Muslim community;
     
  • they believe that parts of Maluku and Poso, but particularly Poso, have the potential to develop into a qoidah aminah, a secure area where residents can live by Islamic principles and apply Islamic law: in their view, such a base could then serve as the building block of an Islamic state, and Maluku and Poso thus remain a focus for religious outreach and recruitment efforts;
     
  • for some fighters, both local and non-local, the combination of military training and active combat may have been the most meaningful experience of their lives: it may be difficult for them to return to more mundane "civilian" life unless better options emerge; and
     
  • the concentration of ex-mujahidin has made both areas attractive to fugitives who in the past have found a ready support network there.

The Ceram attack on a paramilitary police post on 16 May 2005, in particular, shows how a disparate group of men linked through various networks can come together and form a team of operatives. The attack involved members of KOMPAK, Darul Islam, a Poso-based organisation, and perhaps JI, but the hit squad does not appear to have been organised through any institutional hierarchy. The common experience of training and fighting during the early stages of the Poso and Maluku conflicts appears to be more important as the organising principle. Those ties were also sufficiently strong to draw the attackers together from Java, Sulawesi, Sumatra and Maluku.

The bomb in the marketplace of the Christian town of Tentena, Poso, is more mysterious. The investigation has produced over a dozen arrests but no clear suspect. It has highlighted the complexity of the networks involved in other recent violence in the area, going beyond mujahidin circles to include local officials and gang leaders.

One need in these conflict areas is for better law enforcement. Problems are of long standing and not entirely of current incumbents' making, but police practices, particularly wrongful arrests and ill-treatment of detainees, have alienated local communities, making people unwilling to help investigations. The failure of government security forces in the past to provide protection to threatened communities means people who take the law into their own hands are treated as heroes. Prosecutors, lawyers and judges have been subjected to intimidation and worse, and perpetrators of violence have often received questionable acquittals or rejoined their networks after serving short sentences.

Several measures would help: better treatment of detainees, control over access to firearms, better coordination among intelligence agencies, and serious punishment for serious crimes.

A second need is for direct engagement with local veterans of the Poso and Maluku violence to reintegrate them back into "civilian" life. One possibility is to link a reintegration program to the "assimilation" program of the Indonesian prison system, whereby those about to be released are allowed to work outside prison during the day under closely supervised conditions. This could be a vehicle for trying to introduce members of these networks to new social contacts while at the same time giving them viable alternatives to violence.

Jakarta/Brussels, 13 October 2005

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.