Report / Asia 2 minutes

Indonesia: Mencegah Kekerasan Dalam Pemilu Kepala Daerah

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Ikhtisar

Indonesia perlu segera belajar dari kasus kekerasan yang terjadi di beberapa tempat dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) di dalam tahun 2010 karena ada beberapa bukti bahwa insiden-insiden yang seharusnya dapat mudah dicegah ini telah meningkat dibandingkan putaran yang lalu. Meskipun sebagian besar pelaksanaan pemilu kada berjalan dengan damai, sejumlah kecil yang melibatkan kekerasan, memperlihatkan kelemahan-kelemahan kelembagaan yang harus dibenahi. Pemilu kada seringkali menjadi persaingan pribadi memperebutkan kekuasaan di daerah yang bisa sangat emosional, dan apabila tidak diawasi dengan ketat, bisa berujung pada kekerasan. Meskipun isu agama dan kesukuan sering muncul dalam persaingan pemilu kada, tapi untungnya sejauh ini tidak memicu perpecahan SARA. Konfrontasi bisa dihindari dalam pemilu kada yang akan datang dengan melakukan perubahan-perubahan yang relatif mudah dalam praktek-praktek, kebijakan maupun peraturan pemilu. Persaingan politik daerah ini bukanlah masalah lokal yang bisa diacuhkan di tingkat nasional. Mereka berpengaruh karena sejak desentralisasi, pemerintahan tingkat daerah-lah yang memiliki dampak terbesar terhadap kehidupan warga. Bagaimana pemilu kada ini berlangsung bisa menentukan penilaian pemilih mengenai kesuksesan atau kegagalan demokrasi di Indonesia.

Jumlah kekerasan yang terjadi dalam 244 pemilu kada yang terjadwal di tahun 2010 tak sampai 10 persen. Namun ini saja sudah merupakan peningkatan dari putaran yang lalu. Sebuah studi menemukan ada 13 kasus kekerasan dalam pemilu kada yang berlangsung dari tahun 2005 ke 2008. Di tahun 2010 saja, tercatat paling tidak ada 20 kasus. Diantara faktor-faktor yang menjadi penyebab peningkatan ini adalah kemarahan masyarakat atas politik kekerabatan, yaitu pengajuan anggota keluarga sebagai kandidat bagi petahana yang ingin menyiasati batasan masa jabatan, dan frustrasi yang meningkat terhadap buruknya tata pemerintahan. Apapun dasarnya, ketika pemilu berujung pada kekerasan, korban jiwa timbul, bangunan dirusak, pemungutan suara ditunda, dan legitimasi negara ditantang. Dari penelitian di kabupaten Mojokerto, Tana Toraja dan Tolitoli, kubu yang terlibat kekerasan memiliki harapan yang berlebihan bahwa kandidat mereka bisa menyingkirkan petahana atau calon yang dijagokannya. Dalam kasus-kasus ini, KPUD dan polisi gagal atau tidak membaca gejala yang ada.

Pemilu kada di tahun 2010 ada juga aspek positifnya. Di daerah-daerah yang belajar dari kesalahan masa lalu, seperti di kabupaten paska konflik Poso, aparat keamanan, penyelenggara pemilu dan para pemuka masyarakat berhati-hati dengan ancaman kekerasan dan bekerja sama sejak awal untuk menghindari dampak buruk yang bisa keluar dari pemilu di daerah. Dengan kesadaran semacam itu, pemilu berjalan tanpa insiden karena semua pihak bertindak secara bertanggung jawab, menghormati hukum, dan memperlihatkan akal sehat. Pejabat pusat maupun daerah perlu mempelajari kisah-kisah sukses pemilu semacam ini sebagai bagian dari sebuah evaluasi pelaksanaan pemilu yang sistematis dan menyeluruh.

Cara anggota Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dipilih perlu dipertimbangkan kembali dalam rangka meningkatkan legitimasi dan efektifitas mereka. Keragu-raguan KPUD dalam mengambil keputusan disebabkan karena banyak anggota yang terpilih dalam proses seleksi sebenarnya tidak memiliki kewibawaan di dalam masyarakat, ketrampilan memimpin, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif dengan konstituen. Anggota KPUD yang terpilih seringkali adalah orang muda berpendidikan yang sedang mencari pekerjaan dan mampu melewati proses seleksi yang birokratis. Di tiga kasus kekerasan yang dikaji dalam laporan ini, KPUD setempat dianggap berat sebelah dan tidak punya cukup pengaruh dalam melakukan tugas mereka. Mereka bertindak lambat, kurang transparan, dan tidak siap menghadapi situasi yang tak terduga, sebuah kombinasi yang hanya menambah kecurigaan, ketegangan dan menimbulkan dugaan bias.

Selain itu, pendanaan penyelenggaran pemilu yang berasal dari anggaran pemerintah daerah melemahkan independensi mereka. Sebaiknya dipertimbangkan untuk menggunakan pendanaan pusat untuk membiayai pemilu kada. Sementara itu tidak banyak batasan-batasan hukum terhadap petahana yang bisa mengeksploitasi fasilitas negara dan kelembagaan untuk membantu mereka terpilih kembali. Tingkat kepercayaan dalam proses pemilu daerah yang rendah ini diperburuk dengan maraknya pembelian suara, intimidasi dan mobilisasi kelompok-kelompok suku untuk mendukung kandidat tertentu. Aparat keamanan setiap saat harus menjaga kenetralannya dalam setiap tahapan pemilu.

Masalah-masalah ini dapat diperbaiki dengan pengaturan pendanaan yang terpusat, proses seleksi anggota-anggota KPUD and Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) yang lebih baik, dan memberikan kewenangan pada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menangani sengketa-sengketa ini. Di samping itu, dana yang dialokasikan bagi penyelenggaraan pemilu dan keamanan tidak boleh dialihkan untuk penggunaan yang lain, atau disalahgunakan.

Jakarta/Brussels, 8 Desember 2010

Executive Summary

Indonesia needs to learn promptly the lessons from the sporadic violence witnessed in its local elections during 2010 as there is some evidence these easily preventable incidents could be increasing in frequency since the last cycle. While most district polls pass peacefully, the small number that do not reveals nationwide institutional weaknesses that should be fixed. These contests are often intense personal rivalries for community power that can be highly emotive and, if not closely watched, can quickly turn violent. While religious and ethnic ties are accentuated by these tense races, to date they have not triggered any sectarian schisms. Many confrontations could be avoided in future polls by relatively simple changes in practices, policies and laws. Rather than being too small for national attention, these political battles matter to this large country because, since decentralisation, it is this level of public administration that has the greatest impact on the lives of citizens. How these elections take place can determine the judgments that voters make on the success or failure of democracy throughout the archipelago.

Violence occurred in fewer than 10 per cent of the 244 scheduled races. While one study found only thirteen incidents in local elections from 2005-2008, they appear to be rising as at least twenty have been recorded in 2010. Among the factors contributing to the increase in this round are anger with incumbents using family members as proxies to get around term limits and growing frustration with poor governance. When polls became violent people died, property was destroyed, voting was delayed and the legitimacy of the state was challenged. In Mojo­kerto district in East Java, Tana Toraja in South Sulawesi and Tolitoli in Central Sulawesi, campaigns linked to violence had exaggerated expectations that their candidate could oust an incumbent or his handpicked successor. In these cases, lax election commissions and police missed or ignored the warning signs.

There are also some positive aspects to this round. In places where lessons were learnt from the past, like the post-conflict district of Poso in Central Sulawesi, security forces, election organisers and community leaders were alert to the dangers and worked together early to avoid any ugly consequences. In such communities the elections proceeded without incident as all sides acted responsibly, lawfully and showed common sense. More success stories need to be studied by national and district authorities as part of a systematic review of all elections.

The way district election commissions are chosen needs to be reconsidered to boost their legitimacy and effectiveness. Their indecisiveness lies in the selection of weak members who lack local authority, leadership skills and the ability to communicate effectively with constituents. Rather than seek out those who are respected and qualified, the commissions are often staffed by young and clever job-hunters looking for work and who are able to navigate the bureaucratic selection process. In the three violent cases in this report, the local commissions seemed too partial and had insufficient clout to do their job. They moved slowly, lacked transparency and were unprepared for unforeseen situations, a combination that only increased suspicions, raised tensions and drew allegations of bias. Security forces should maintain strict neutrality at all times during elections.

The funding of electoral administration from the regional government’s budget undermines its independence. Consideration should be given to paying for local election authorities from the national coffers. There are few legal restrictions on local executives who can quite legitimately exploit state facilities and agencies to aid their re-election. The low level of trust in the process is compounded by prevalent vote buying, intimidation and the mobilisation of ethnic groups to support specific candidates. Better training and regulation of funding, improved selection processes for election bodies and national supervision could address these issues. Money allocated for election administration and security should not be fungible, diverted to other uses or misappropriated.

Jakarta/Brussels, 8 December 2010

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.