Report / Asia 2 minutes

Jihadisme Indonesia: Kelompok Kecil, Rencana Besar

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

Ringkasan Ikhtisar

Ekstrimisme yang melibatkan kekerasan berangsur-angsur berubah bentuk jadi kelompok-kelompok kecil yang bertindak sendirian terlepas dari organisasi jihad besar – tapi kadang-kadang dengan dukungan mereka. Perubahan ini sebagian akibat efektifnya penegakan hukum yang telah menghasilkan penangkapan secara meluas dan melemahkan struktur Jemaah Islamiyah (JI), Jama’ah Anshorut Tahuid (JAT) dan organisasi-organisasi lain yang dituduh terkait terorisme. Tapi perubahan ini juga merupakan dampak dari pergeseran ideologi yang sekarang lebih condong ke aksi jihad yang bersifat “individual” dibandingkan “organisasional”, berbiaya rendah dan sasaran pembunuhannya berskala kecil daripada sebelumnya yang berupa serangan yang menewaskan korban masal dan secara tidak sengaja memakan korban muslim juga. Bom bunuh diri yang terjadi di sebuah masjid di dalam kompleks Mapolresta Cirebon tanggal 15 April 2011 dan serangkaian bom surat yang dikirim dan beredar di Jakarta pada pertengahan bulan Maret menjadi penanda pergeseran ideologi ini. Pemerintah perlu segera menyusun strategi-strategi pencegahan untuk mengurangi kemungkinan kelompok-kelompok semacam ini semakin banyak muncul.

Tak seperti para pendukung kelompok-kelompok jihad kecil, orang-orang yang menyokong jihad “organisasional” percaya bahwa mereka tidak akan bisa mencapai cita-cita mereka mendirikan negara Islam tanpa organisasi besar serta pemimpin yang kuat. Mereka juga percaya untuk meraih cita-cita mereka, maka penting sekali untuk membangun dukungan publik. Daripada terlibat dalam aksi terorisme, kelompok-kelompok seperti JI dan JAT saat ini fokus pada upaya membangun sebuah basis massa, dengan mencari isu-isu yang dekat dengan target dakwah mereka. Semakin lama hal ini membuat mereka fokus pada “musuh-musuh” lokal daripada asing, dengan sasaran para pejabat yang dilihat sebagai penindas, terutama polisi; kaum Nasrani; dan anggota aliran Ahmadiyah, menempati urutan teratas. Hal ini juga berarti mereka lebih bersedia untuk membentuk koalisi-koalisi dengan kelompok-kelompok non-jihadi dibanding di masa lalu.

Dalam beberapa hal, kedua arus jihadisme ini bisa saling melengkapi. Organisasi yang lebih besar bisa membiayai dakwah-dakwah yang menarik orang-orang yang potensial untuk jadi anggota kelompok-kelompok kecil ini. Mereka juga bisa menyediakan penterjemah dan distributor untuk materi-materi yang di-download dari situs-situs ekstrimis berbahasa Arab atau Inggris yang menunjang pendekatan kelompok-kelompok kecil. Mereka bisa mempertahankan sanggahan yang masuk akal atas aksi-aksi kekerasan sambil berusaha terus membangun kembali posisi mereka, dan pada saat yang sama menyediakan semacam cover yang dari bawahnya kelompok-kelompok kecil muncul. Organisasi-organisasi yang lebih besar belum meninggalkan jihad, hanya menundanya.

Laporan ini melakukan studi kasus mengenai kelompok-kelompok kecil yang menggunakan kekerasan yang muncul di Indonesia tahun 2009 dan 2010 di wilayah Sumatera yaitu Medan dan Lampung serta di Jawa yaitu di Bandung dan Klaten. Semuanya melibatkan sedikitnya seorang mantan napi; tiga dari empat kelompok punya hubungan dengan JAT tapi beroperasi sendiri terlepas dari kontrol JAT. Tiga dari empat kelompok ini juga terkait dengan kelompok-kelompok pengajian yang lambat laun berubah menjadi pasukan tempur, dan semuanya berkomitmen pada ightiyalat, operasi pembunuhan mendadak. Tak satupun dari anggota kelompok yang dikaji ini menjadi radikal karena faktor kemiskinan.

Informasi mengenai kelompok-kelompok kecil ini baru didapat karena anggota mereka tertangkap. Hal ini menimbulkan pertanyaan seberapa banyak kelompok kecil lainnya yang belum diketahui, biasanya kelompok ini baru diketahui ketika salah satu operasi pembunuhan mereka berhasil.

Strategi-strategi pencegahan yang tidak hanya bersifat penegakan hukum sangat diperlukan, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru dibentuk memiliki peran penting dalam mendesain dan mengujinya. Namun, semua stragegi ini harus berdasarkan penelitian lapangan yang dan dituntun oleh studi yang sungguh-sungguh mengenai apa yang sudah dan belum berjalan dengan baik di tempat lain.
 

Executive Summary

Violent extremism in Indonesia increasingly is taking the form of small groups acting independently of large jihadi organisations but sometimes encouraged by them. This is in part a response to effective law enforcement that has resulted in widespread arrests and structural weakening of Jemaah Islamiyah (JI), Jama’ah Ansharut Tauhid (JAT) and other organisations accused of links to terrorism. But it is also the result of ideological shifts that favour “individual” over “organisational” jihad and low-cost, small-scale targeted killings over mass casualty attacks that inadvertently kill Muslims. The suicide bombing inside a police station mosque on 15 April 2011 and a spate of letter bombs delivered in Jakarta in mid-March are emblematic of the shift. The government needs urgently to develop prevention strategies to reduce the likelihood that more such groups will emerge.

Unlike the small group proponents, advocates of “organisational” jihad believe that nothing can be accomplished without a large organisation and a strong leader, but if the ultimate goal is an Islamic state, then it is imperative to build public support. Rather than engage in violence, groups like JI and JAT are focused for the moment on building up a mass base, by finding issues that resonate with their target audience. Increasingly this means a greater focus on local rather than foreign “enemies”, with officials who are seen as oppressors, particularly the police; Christians; and members of the Ahmadiyah sect topping the list. It also means a greater willingness than in the past to join coalitions with non-jihadi groups.

The two strands of jihadism are complementary. The larger organisations can fund the religious outreach that attracts potential recruits for the small groups. They can also provide the translators and distributors for material down­loaded from extremist websites in Arabic or English that buttress the small group approach. They can maintain plausible deniability for acts of violence while trying to rebuild their ranks, while at the same time providing the cover under which small groups emerge.

The report looks at detailed case studies of small violent groups that have emerged in Indonesia in 2009 and 2010 in Medan and Lampung, on Sumatra, and in Bandung and Klaten, on Java. All involved at least one former prisoner; three of the four had links to JAT but operated independently of JAT control. Three of the four also involved mosque-based study groups that evolved into hit squads, and all were committed to the idea of ightiyalat, secret assassinations. In none of them was poverty a significant driver of radicalisation.

Information about these groups is only available because their members were caught. This raises the question of how many similar small groups operating under police radar exist across Indonesia that will only come to light when one of their murderous attempts succeeds.

Prevention strategies that go beyond law enforcement are critical, and the new National Anti-Terrorism Agency (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, BNPT) has an important role to play in designing and testing them. All such strategies, however, must be based on well-grounded research and informed by serious study of what has and has not worked elsewhere.

Jakarta/Brussels, 19 April 2011

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.