Briefing / Asia 1 minutes

Aceh: Kenapa Kekuatan Militer Tidak Akan Membawa Perdamaian Kekal

  • Share
  • Simpan
  • Cetak
  • Download PDF Full Report

RANGKUMAN IKHTISAR

Hampir selama 50 tahun terakhir Aceh memberontak terhadap kegagalan serentetan pemerintahan Indonesia untuk mengakui aspirasi politik dan ekonomi rakyat Aceh. Asal-usul sejarah dan belahan- belahan sosial bangsa Aceh yang khas tidak pernah tercermin dalam struktur politik daerah tersebut,  dan hak ekonomi mereka telah didistorsi oleh pengendalian terhadap pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya yang terpusat di Jakarta. Tanggapan militer yang tidak terkendali terhadap perlawanan, terutama sejak akhir dasawarsa 1970an, juga telah menimbulkan sakit hati pada banyak orang Aceh serta memperdalam rasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah pusat. Ketika Orde Baru pimpinan Soeharto runtuh, rasa frustrasi mereka diekspresikan melalui tuntutan akuntabilitas atas kejahatan- kejahatan yang dilakukan dimasa lalu, melalui tuntutan untuk otonomi yang lebih besar, dan melalui tuntutan yang kian tumbuh untuk kemerdekaan. Ini semua dibarengi gelombang perlawanan bersenjata ketika Jakarta gagal meraih peluang yang timbul sekilas untuk menyelesaikan konflik.

Rencana berbutir enam yang diumumkan pemerintahan Wahid pada tanggal 11 April 2001 dibalut dalam bahasa yang menawarkan solusi komprehensif menyangkut langkah-langkah politik, ekonomi dan sosial, akan tetapi dampaknya tidak akan terasa sementara 80 persen propinsi tersebut secara efektif berada diluar kendali pemerintah. Memperoleh kembali kendali membutuhkan operasi keamanan yang berhasil atau kesepakatan perdamaian dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).1 Peningkatan operasi keamanan bisa memulihkan kendali pemerintah atas areal yang luas dan memberi pukulan yang keras terhadap sayap bersenjata GAM (AGAM)2 akan tetapi masih akan tertinggal suatu pasukan belakang yang alot,  dan sementara  itu rakyat Aceh menjadi semakin terpojok.

Solusi militer akan gagal sepanjang pasukan keamanan tidak dapat mengendalikan diri untuk mencegah perilaku yang memusuhi orang Aceh biasa. Masih banyak digunakan praktek-praktek masa otoriter lalu. Kadang kala sistim intelijen seperti dipengaruhi agenda tersembunyi yang sumbernya internal maupun eksternal. Tindakan brutal dan pembalasan terhadap orang sipil yang tidak bersenjata dan harta benda mereka kebanyakan berlalu tanpa ada sangsi hukuman. Kecuali pada dua kasus yang meragukan, tidak terlihat tanda-tanda bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia telah, atau akan, dihadapkan ke pengadilan.

Kegagalan menerapkan disiplin dan kendali, sebagian bersumber dari kenyataan bahwa hanya 25 persen dari anggaran keamanan disediakan oleh negara. Artinya baik pasukan militer maupun polisi yang bertugas dilapangan, di Aceh atau tempat lain, harus melakukan berbagai kegiatan yang legal maupun ilegal untuk mendanai kebutuhan operasi dan pribadi lainnya. Penjarahan terhadap ekonomi tersebut dimungkinkan dengan menggunakan atau ancaman menggunakan kekerasan.

Ada petunjuk bahwa TNI, terutama angkatan darat, mengambil manfaat dari konflik berkepanjangan di Aceh sekalipun bukan merupakan hasil kebijakan eksplisit. Pertempuran yang berkepanjangan di Aceh memberi peluang bagi TNI untuk memerankan diri sebagai satu-satunya kekuatan yang mampu mencegah disintegrasi Indonesia, dan oleh karenanya pengaruh politiknya dapat dipertahankan.  Upaya angkatan darat untuk merebut kembali wewenang atas keamanan dalam negeri dari polisi dengan demikian juga tertolong, yang pada gilirannya memberi justifikasi untuk mempertahankan sistim  teritorial angkatan darat yang merupakan sumber pendanaan diluar pemerintah. Pengaruh politik membantu TNI untuk mempertahankan kemandirian lembaganya dan menggagalkan usaha menyeret perwira tingginya ke pengadilan atas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu.

Presiden Wahid telah berhasil menangkis tekanan untuk mengumumkan keadaan darurat, akan tetapi ia telah mengesahkan pembentukan sebuah komando operasional dibawah pimpinan polisi serta pengiriman bantuan pasukan angkatan darat. Dengan keadaan saat ini penambahan pasukan serta perluasan operasi yang tersamar sebagai upaya pemulihan ketertiban dan hukum tidak urung akan berakibat pada penjarahan yang lebih banyak lagi dan menghalangi tujuan merebut hati dan pikiran rakyat Aceh, apalagi penyelesaian permasalahan politik yang mendasar.

Strategi yang lebih tepat digunakan adalah dengan mempertahankan status quo sementara rundingan berjalan untuk menangggulangi rintangan substantif terhadap perdamaian. Yang  menjadi  masalah pokok dalam rundingan ini adalah seberapa jauh Jakarta akan memberi otonomi yang luas kepada Aceh. Sementara itu, agar upaya-upaya tidak digagalkan oleh tindakan yang salah kaprah dilapangan di Aceh, dibutuhkan langkah pengendalian yang efektif baik dari pemerintah maupun dari pasukan keamanan.

Apabila pemerintah Indonesia bersedia memberi konsesi yang wajar atas otonomi daerah, maka komunitas dunia dapat berperan dalam menerangkan kepada pimpinan GAM diluar negeri dan di Aceh mengenai keuntungan dan kerugian berbagai opsi, dalam rangka membantu perundingan dan memantau tercapainya penyelesaian. Indonesia tidak mungkin menerima kehadiran pasukan perdamaian, dan jaminan terbaik bagi suatu penyelesaian yang kekal adalah berhasilnya peralihan kearah demokrasi di negara ini.

Laporan ini terutama membahas mengapa penggunaan operasi militer untuk mencapai penyelesaian tidak mungkin menghasilkan perdamaian kekal. Laporan berikutnya akan meneliti usulan-usulan bagi otonomi dan prospeknya untuk diterima sebagai alternatif kemerdekaan.

Jakarta/Brussels, 12 Juni 2001

I. Overview

In June 2001, ICG wrote of the situation in Aceh: “The military solution is certain to fail as long as the security forces are incapable of exercising the degree of control and discipline over their troops necessary to prevent behaviour that alienates ordinary Acehnese”[fn]ICG Asia Report N°17, Aceh: Why Military Force Won’t Bring Lasting Peace, 12 June 2001.Hide Footnote

As the 12 May 2003 deadline set by the Indonesian government for the Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka or GAM) to accept Indonesian sovereignty or face all-out war draws closer, nothing has changed. Military reform has stalled over the last two years, and there is no reason to believe that the planned offensive will be conducted any more carefully than those in the past. It will only be bigger. The Indonesian military (Tentara Nasional Indonesia, TNI) is not using the phrase “shock and awe”, but the stream of reports on the number of troops, tanks, and weapons being prepared for Aceh is designed to have the same effect.

At the same time, the insurgency in Aceh poses a genuine security threat, and the Indonesian government’s options are limited. This briefing explores some of those options and suggests that if an offensive cannot be prevented, opportunities for resumption of negotiations should at least be continuously explored and all possible effort made to ensure that military operations are kept as limited, as transparent, and as short as possible. The move toward war in Aceh also underscores the urgent need for military reform to get back on track, and for domestic and international pressure to be exerted toward that end.

Jakarta/Brussels, 9 May 2003

Subscribe to Crisis Group’s Email Updates

Receive the best source of conflict analysis right in your inbox.